Hasil Penelitian
Pada bab ini menguraikan tentang hasil
penelitian mengenai gambaran karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih
pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan di T.Morawa. Penelitian ini
dilakukan selama satu bulan
dengan
Jumlah responden sebanyak 42 orang yang merupakan kepala keluarga dari pasien,
baik pasien baru, pasien rawat inap, maupun pasien rawat jalan.
5.1.1
Karakteristik
Responden
Hasil penelitian
berdasarkan karakteristik responden yang dipaparkan mencakup usia, jenis
kelamin, suku, agama, pendidikan terakhir, pekerjaan, penghasilan kepala keluarga,
ada tidaknya keluarga dekat yang bekerja di bidang kesehatan, penghasilan
perbulan dan jenis fraktur yang dialami. Dari
42 responden didapatkan hasil yaitu : 52,38% berusia
40-59 tahun, 71,43% berjenis kelamin Laki-laki, 40,48% suku Batak Toba, 50%
beragama Kristen Protestan, 45,24% berpendidikan SMA/SMK/MTS, 69,05% wiraswasta,
100% responden tidak bekerja dibidang kesehatan, 64,28% berpenghasilan sebulan
> 1.035.500, 90,48% adalah fraktur tertutup, dan 50% mendapatkan informasi
dari sanak keluarga (family).
Tabel
5.1.1 Distribusi
Frekuensi dan Persentase Data Demografi Responden (n=42)
Data
Demografi Responden Frekuensi Persentase (%)
Usia
20-39
tahun 16 38.1
40-59ahun 22 52.4
>60 tahun 4 09.5
Mean
: 34,88
JenisKelamin
Laki-Laki 30 71.4
Perempuan 12 28.6
Laki-Laki 30 71.4
Perempuan 12 28.6
Suku
Batak Toba 17 40.5
Batak
Karo 12 28.6
Simalungun 1 02.4
Mandailing 7 16.7
Pakpak 1
02.4
Jawa 4
09.5
Agama
Islam 14 33.3
Protestan 21 50.0
Khatolik 7 16.7
Pendidikan terakhir
Perguruan Tinggi 5 11.9
SMA 19 45.2
SMP 9 21.4
SD 8 19.1
Tak
Sekolah 1 02.4
Pekerjaan
PNS/TNI/POLRI 3 07.1
Karyawan Swasta 4 09.5
Wiraswasta 29 69.1
Bertani/Buruh 6 14.3
Bekerja
di Bidang Kesehatan
Ya 0 0
Tidak 42 100.0
Penghasilan Perbulan
15 35.7
>Rp 1.035.500 27 64.3
Jenis Fraktur
Fraktur
Terbuka
4 09.5
Fraktur
Tertutup 38 90.5
5.2
Pembahasan
Dalam pembahasan
ini, peneliti mencoba menjawab pertanyaan penelitian yaitu bagaimana gambaran
karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan tradisional patah
tulang Sepadan Tarigan di tanjung
morawa.
5.2.1
Karakteristik responden
Hasil penelitian tentang gambaran
karakteristik keluarga pasien fraktur yang memilih pengobatan tradisional patah
tulang menunjukkan bahwa dari 42 responden, sebagian besar usia kepala keluarga
pada kelompok umur 40-59 tahun yaitu sebanyak 22 responden (52.4% ). Sesuai dengan klasifikasi WHO,
rentang usia tersebut berada pada rentang
usia dewasa pertengahan (Middleage). Adapun ciri dari dewasa pertengahan
adalah adanya aktivitas sosial yang tinggi. Aktivitas sosial yang tinggi akan
memudahkan keluarga untuk mendapatkan informasi yang penting mengenai pemilihan
pengobatan yang tepat melalui informasi pengalam dari teman, keluarga ataupun orang lain yang pernah merasakan
efektivitas pengobatan tersebut. Informasi tersebut akan menjadi
pertimbangan keluarga dalam memilih
pengobatan tradiisonl. Untuk itu Lukman (2011) dalam
Daulay (2010) menyatakan bahwa Usia yang semakin tinggi dapat menimbulkan
kemampuan seseorang mengambil keputusan semakin bijaksana. Dalam hal ini
rentang usia dewasa pertengahan dianggap usia yang paling baik dalam mengambil
keputusan yang bijaksana. Termasuk dalam keputusan terhadap pemilihan
pengobatan tradisional.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien fraktur yang datang berjenis
kelamin Laki-laki yaitu sebanyak 30 orang
(71.4% ). Sesuai dengan penelitian Purba (2009) yang berjudul “Persepsi
penderita patah tulang terhadap pengobatan pada dukun patah tawar kem-kem di Kec
Medan Sunggal kota Medan” , didapatkan hasil yaitu pasien fraktur didominasi
oleh laki-laki (63,3%). Hal ini sesuai dengan teori pada buku Brunner &
suddart (2002) yang menyatakan
fraktur terjadi lebih sering pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hal
ini berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau kecelakaan. Adapun olah raga yang dapat
menyebabkan fraktur adalah sepak bola,
ski, senam, volley, basket dan sepak
bola, dan berdansa diatas lantai yang licin. Sedangkan pekerjaan yang berisiko
mengalami fraktur adalah tukang besi, supir, bangunan, pembalap mobil, orang
dengan penyakit degenarif dan neoplasma. Dan kecelakaan yang paling
sering menjadi penyebab fraktur adalah kecelakaan sepeda motor. Dalam
penelitiannya Moesbar (2007) menyatakan bahwa pengendara dan penumpang sepeda
motorlah terbanyak mendapatkan patah tulang pada kecelakaan lalu lintas. Sedangkan
pada perempuan lebih sering terjadi pada usia lanjut behubungan dengan adanya
osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon.
Suku merupakan bagian
integral dari budaya. Di provinsi
Sumatera Utara ini hampir seluruh masyarakat didominasi oleh suku Batak.
Sebagai bagian integral dari budaya, suku dapat mempengaruhi pandangan klien
tentang penyebab penyakit, persepsi keparahannya, dan pilihan terhadap
penyembuhan termasuk dalam pilihan pengobatan. Maramis (2006) menyatakan budaya
dipengaruhi oleh suku bangsa yang dianut pasien, jika aspek suku bangsa sangat mendominasi
maka pertimbangan untuk menerima atau menolak pengobatan didasari pada kecocokan
suku bangsa yang dianut oleh pengobat tradisional.. Berbeda dengan pernyataan
tersebut, pada penelitian ini didapatkan hasil
bahwa suku keluarga yang memilih pengobatan tradisional tersebut justru
beraneka ragam dan sebagian besar adalah suku Batak Toba yaitu sebanyak 17
responden (40.5%). Hal ini menunjukkan
bahwa budaya-budaya luhur masih tetap terpelihara dalam diri masyarakat (Turana, 2003).
Hasil
penelitian ini juga didukung
dengan penelitian sebelumnya oleh oleh Pakpahan (2011) yang berjudul
“faktor-faktor yang mempengaruhi penderita fraktur memilih pengobatan
tradisional patah tulang P.Gurusinga kec Medan Tuntungan” dan Purba (2006) yang
berjudul “Persepsi penderita patah tulang terhadap pengobatan pada dukun patah
tawar kem-kem di Kec Medan Sunggal kota Medan” didapatkan hasil yaitu suku
masyarakat yang memilih pengobatan tradisional itu beraneka ragam dan sebagian
besar adalah suku batak Toba.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kesamaan latar belakang budaya dengan
dukun patah tidak mempengaruhi pemilihan
terhadap pengobatan tradisional.
Hasil
penelitian menunjukkan agama yang dianut responden mayoritas adalah Kristen
Protestan, yaitu sebanyak 21 responden (50%), sedangkan agama Islam sebanyak 14
responden (33.33%), dan Kristen Khatolik
sebanyak 7 responden (16.7%). Agama berperan penting dalam membentuk persepsi
klien tentang sehat sakit. Sebagai komponen integral dari budaya, agama dapat
mempengaruhi penjelasan klien tentang penyebab penyakit, persepsi keparahannya,
dan pilihan terhadap penyembuhan (pilihan pengobatan) (Mubarak, 2009). Hal ini
berkaitan dengan suku sebagian besar
responden yaitu suku Batak Toba. Menurut Setianto (2011), bahwa Agama Kristen Protestan menjadi
agama yang dominan pada suku batak Toba,
sehingga agama kristen protestanlah yang menjadi mayoritas pemilih
pengobatan tradisional Sepadan Tarigan.
Gambaran umum
pendidikan responden berdasarkan tingkat pendidikan formal adalah mayoritas
responden memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu Perguruan Tinggi 11.90%,
SMA/SMK/MAN 45.24%, SMP 21.43%, SD 19.05% dan tidak sekolah sebanyak 2.4%.
Menurut wield Herry A (1996) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut pula
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap atau memahami pengetahuan yang
mereka peroleh. Pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin
baik pula pengetahuannya. Dan tingkat
pendidikan yang berbeda mempunyai kecenderungan yang tidak sama dalam mengerti
dan bereaksi terhadap kesehatan mereka, hal ini yang juga dapat mempengaruhi
dalam hal pemilihan terhadap pengobatan (Notoatmodjo, 2003).
Foster & Anderson
(1986) menyatakan bahwa pemilihan pengobatan alternatif biasanya dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah serta kurangnya informasi
tentang kesehatan yang diterima. Namun pernyataan terbaru yang dikemukakan oleh
Kasnodiharjo (2005) dalam bukunya menyatakan bahwa nilai-nilai tradisional saat
ini tidak hanya melanda masyarakat pedesaan saja namun masyarakat perkotaan
juga. Tidak hanya pada masyarakat pendidikan rendah saja tetapi masyarakat
pendidikan atas bahkan sarjana yang memiliki tingkat rasional yang cukup tinggi
mengambil jalan pintas ke arah pengobatan tradisional. Hal ini diperkuat dengan
hasil penelitian sebelumnya oleh Pakpahan (2011) dan Purba (2006) yaitu ternyata pendidikan masyarakat yang
memilih pengobatan tradisional patah tulang mayoritas adalah SMA dan Perguruan
tinggi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat
yang memilih pengobatan tradisional adalah baik.
Pekerjaan
responden mayoritas wiraswasta 69.1% dan mayoritas penghasilan responden perbulan > Rp
1.035.000 sebanyak 64.3% , hal ini sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP)
SUMUT tahun 2011 yaitu sebesar Rp 1.035.500. Ini menunjukkan tingkat kesejahteraan
responden cukup baik. Varghese
(2004) dalam Pakpahan (2011),
menyatakan bahwa pengobatan
alternatif dipilih karena alasan murah. Mahalnya obat-obatan modern dan
tingginya biaya fasilitas kedokteran canggih menjadi alasan masyarakat mencari
jenis pengobatan alternatif, pengobatan modern mengisyaratkan adanya kemampuan
ekonomi yang memadai. Namun dalam surat kabar Analisa (2011) menyatakan bahwa maraknya
masyarakat berobat ke pengobatan alternatif tidak selamanya karena biaya yang
tinggi berobat ke dokter. Sekarang ini pemerintah telah memberikan jaminan kesehatan
kepada masyarakat berupa jamkesmas, jamkesda dan lain sebagainya. Program
kesehatan masyarakat yang diberikan pemerintah dapat dimanfaatkan masyarakat
untuk berobat ke rumah sakit. Jadi, tidak ada alasan lagi karena persoalan
biaya.
Berdasarkan uraian responden terhadap
alasan memilih pengobatan tradisional didapatkan data bahwa mayoritas
responden menyatakan alasan memilih pengobatan tradisional patah tulang Sepadan Tarigan karena faktor kepercayaan akan manfaat dan keberhasilan pengobatan
tradisional dibanding dengan pengobatan medis. Jadi bukan karena faktor ekonomi
yang mendominasi keluarga pasien memilih pengobatan tradisional, melainkan
karena faktor kepercayaan akan pengobatan tradisional Sepadan Tarigan.
Hasil
penelitian menunnjukkan bahwa 100% responden tidak bekerja dibidang kesehatan.
Dan Jenis fraktur yang dialami responden adalah fraktur tertutup sebanyak
90.48%. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian bahwa mayoritas responden berpendidikan SMA dan perguruan tinggi.
Dimana pada tingkat pendidikan tersebut seseorang akan semakin baik dalam hal
pengetahuan. Terutama pengetahuan akan resiko terjadinya infeksi. Resiko
infeksi terjadi jika tidak ditangani secara benar oleh tim medis. Dan resiko
infeksi ini terjadi lebih sering pada fraktur terbuka. Karena pada fraktur
terbuka, akan terlihat luka terbuka dan tonjolan tulang keluar. Hal ini akan
meningkatkan resiko infeksi jika tidak ditagani secara benar. Pernyataan ini
didukung oleh pernyataan Utomo (2000) dalam Purba (2006) yang menyatakan bahwa
fraktur dengan luka terbuka sebaiknya
tidak dibawa ke praktek dukun patah melainkan harus ke pengobatan medis. Hal
ini karena pasien fraktur terbuka harus segera diberi antibiotik untuk mencegah
terjadinya infeksi. Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa sebaiknya
fraktur tertutuplah yang boleh ditangani oleh pengobatan tradisional dan hal
ini sudah sesuai dengan hasil penelitian bahwa mayoritas pasien pengobatan
tradisional patah tulang adalah fraktur tertutup.
Pengambilan
keputusan terletak pada perumusan berbagai alternatif tindakan yang sedang
dalam perhatian dan berbagai alternatif yang tepat setelah suatu evaluasi
(penilaian) mengenai efektifitasnya mencapai tujuan yang dikhendaki oleh
pengambil keputusan (Sunarto, 2000). Menurut Friedman (1998), pengambil
keputusan ini adalah seseorang yang dianggap mempunyai kemampuan memutuskan
tindakan yang tepat bagi keluarga agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau
bahkan teratasi. Dalam hal ini kepala keluargalah yang berperan. Dalam
pengambilan keputusan tersebut, salah satu komponen terpenting ialah kegiatan
pengumpulan informasi. Informasi tersebut dapat diperoleh dari sanak keluarga,
teman, tetangga, orang lain maupun dari media masa. Sesuai dengan rentang usia
kepala keluarga yang didapat yaitu rentang dewasa pertengahan dimana ciri dari
dewasa pertengahan adalah semakin aktifnya usia tersebut melakukan aktivitas
sosial seperti kumpul dengan keluarga, kumpulan semarga, kerabat, dan lainnya.
Untuk itu, dari aktivitas tersebut akan memudahkan keluarga mendapatkan
informasi tentang pengobatan yang efektif. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian bahwa sumber informasi yang didapat responden berasal dari teman
sebaya sebanyak 14.3%, dari orang banyak
sebanyak 35.7% dan dari sanak keluarga ( family)
50%. Oleh karena itu, dari hasil
penelitian ini informasi dari sanak
keluarga menjadi sumber informasi yang penting dalam pengambilan keputusan
terhadap pemilihan pengobatan.
Berdasarkan
uraian responden terhadap alasan memilih
pengobatan tradisional Sepadan Tarigan
di T.Morawa didapatkan beberapa alasan keluarga memilih pengobatan tradisional
yaitu
1.
Alasan kepercayaan akan manfaat dan keberhasilannya.
Hal ini didukung dengan informasi dari pengalaman keluarga, teman, ataupun
orang lain yang pernah merasakan akan keberhasilan pengobatan tersebut.
2. Pelayanannya yang baik dan ramah sehingga keluarga
pasien merasa adanya rasa kekeluargaan dengan bapak Sepadan Tarigan dan
keluarga dapat berkunjung kapan saja tanpa adanya pembatasan waktu kunjungan.
3. Menggunakan obat-obat tradisional yang tidak
berpengawet sehinga tidak menimbulkan resiko efek samping pengobatan, takut
dioperasi karena adanya trauma dari keluarga, teman ataupun orang lain yang
pernah melakukan pengobatan di rumah sakit.
4. Meyakini bahwa memang pengobatan patah tulang sebaiknya
ke dukun patah bukan
ke rumah sakit
5. Harganya yang relatif murah dibanding dengan rumah
sakit dan pembayaran dilakukan pada akhir pengobatan.
6. Pengobatan tradisional itu bagus, praktis, lebih cepat
sembuh di banding dengan pengobatan medis, dan pernah ke rumah sakit namun
tidak sembuh.