Kamis, 09 Juli 2009

LEPASNYA P. SIPADAN DAN P. LIGITAN SEBUAH PELATARAN KEWASPADAAN

LEPASNYA P. SIPADAN DAN P. LIGITAN
SEBUAH PELATARAN KEWASPADAAN
oleh :
Kolonel Ctp Drs. Umar S. Tarmansyah, Peneliti Puslitbang SDM Balitbang Dephan
________________________________________
Putusan Mahkamah Internasional/MI,International Court of Justice (ICJ) tanggal 17-12-2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan sengketa kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia.Disebutkan dari 17 orang juri yang bersidang hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Hal ini telah memancing suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah khususnya Deplu dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah air.
Ada hal yang menggelitik dari peristiwa ini, mengapa kita kalah begitu telak, padahal perkiraan para pemerhati atas putusan ICJ “fifty-fifty”, karena dasar-dasar hukum, peta dan bukti-bukti lain yang disiapkan oleh kedua pihak relatif berimbang. Dari penjelasan yang di “release” mass media, ternyata ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua Pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P. Sipadan dan P. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut.
Sia-sialah perjuangan Indonesia selama belasan tahun kita memperjuangkan kedua pulau tersebut kedalam wilayah Yurisdiksi kedaulatan NKRI, ini akibat dari kekurang-seriusan kita dalam memperjuangkannya, itulah komentar-komentar yang muncul. Benarkah birokrat kita kurang serius memperjuangkan pemilikan dua pulau tersebut ?
Dari rangkaian panjang upaya yang dilakukan rasanya perjuangan kita cukup serius. Putusan MI sudah final dan bersifat mengikat sehingga tidak ada peluang lagi bagi Indonesia untuk mengubah putusan tersebut. Tidak patut lagi kekalahan ini harus diratapi, yang terpenting bagaimana kita mengambil pelajaran untuk ke depan jangan sampai kecolongan lagi untuk ketiga kalinya.
Sekilas mengenai proses penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan pulau Ligitan.
Kasus P. Sipadan dan P. Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia – Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Disaat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “Status Quo”.Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad.
Tiga tahun kemudian (1992) kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kualalumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.
Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996 di Kualalumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati “Spesial Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI/ICJ mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI.
Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “ Written pleading “ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada 3 –12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.
Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp. 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara. Dengan demikian tidak tepat bila dikatakan pihak Indonesia tidak serius memperjuangkan P. Sipadan dan P. Ligitan.
KONDISI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA
• Penegasan Batas.
Indonesia berbatasan di darat dengan Malaysia, Papua Nugini (PNG) dan Timor Larose. Proses penegasan batas darat dengan Malaysia yang dilaksanakan sejak tahun 1975 yang panjang mencapai lebih dari 2000 km, hampir selesai dilaksanakan ( teknis dilapangan) oleh tim Teknis penegasan Batas Bersama (Joint Border Demarcation Team).
Penegasan batas dengan PNG telah berhasil menyelesaian pilar batas utama (Monumen Meridian/MM). Dan sekarang dalam tahap perapatan pilar batas. Namun dikarenakan berbagai kendala proses perapatan pilar batas ini sejak tahun 2000 berhenti. Sementara itu penegasan batas dengan Timor Larosae sudah dirintis sejah pemerintahan pewakilan PBB (UNTAET) dan sekarang telah sampai pada tahap survey penyelidikan lapangan (Joint Reconnaissance Surveys).
Penegasan batas wilayah negara di laut diwujudkan dengan cara menentukan angka koordinat geografi yang digambar di atas peta laut, sebagai hasil kesepakatan bersama melalui perundingan bilateral. Batas laut ini terdiri dari batas laut wilayah/teritorial, batas landas kontinen dan batas zona ekonomi Ekslusif (ZEE). Indonesia yang berbatasan di laut tidak kurang dengan 10 negara, baru sebagian kecil saja batas lautnya yang telah ditegaskan antara lain dengan Malaysia, Singapura, Australia, PNG, Thailand dan India. Hal itupun bersifat parsial, belum secara tuntas menyelesaikan seluruh segmen batas dan jenis batas laut.
• Kondisi Wilayah Perbatasan.
Wilayah perbatasan (Wiltas) darat antar RI dengan Malaysia, PNG dan Timor Larosae terdiri dari daerah pegunungan, dengan konfigurasi medan yang berat/terjal, bervegetasi hutan yang relatif rapat dengan penduduk sangat jarang. Kondisi demikian dikarenakan pemerintah tidak menjadikan Wiltas sebagai prioritas dalam program pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun Pemda. Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru, Wiltas diposisikan sebagai daerah pinggiran/periferal atau daerah belakang yang sering terabaikan. Dalam pembangunannya, namun sumber daya alamnya, khususnya kayu dieksploitasi dengan serampangan secara besar-besaran. Hal tersebut meninggalkan keprihatinan dan luka hati yang dalam bagi penduduk Wiltas. Ironinya kerusakan hutan yang terjadi sering ditimpakan kepada penduduk Wiltas. Akibatnya, penduduk Wiltas yang semula sangat peduli dengan lingkungan (menyatu dengan alam) menjadi berubah drastis.
Mereka pada akhirnya mulai berkolusi dengan para penjarah hutan tersebut. Mereka juga mulai berfikir dan bersikap materialistis-konsumeris. Sementara itu sikap moral dan pengabdiannya terhadap lingkungan mulai tergerus menipis. Orientasi penduduk Wiltas terutama anak-anak mulai berubah. Setelah TV, Radio, Parabola masuk Wiltas, mereka mulai mengenal budaya “jalan pintas” untuk menjadi kaya.


Tanggapan dan Masukan Atas Keputusan ICJ tentang Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi Milik Malaysia tanggal 17 Desember 2002
Desember 30, 2007 in umum
10/02/03 – Lain-lain: Artikel-dkp.go.id
Sidang International Court and Justice (ICJ) pada tanggal 17 Desember 2002 telah memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang sejak tahun 1970-an menjadi sengketa antara Malaysia dan Indonesia, secara resmi menjadi milik Malaysia. Sehubungan dengan keputusan yang cukup mengejutkan Bangsa Indonesia tersebut, bersama ini kami menyampaikan masukan dan tanggapan sebagai berikut :
1. Pulau Sipadan memiliki luas 10,4 ha dan terletak 15 mil dari Sabah serta 40 mil dari daratan Pulau Sebatik, demikian juga dengan Pulau Ligitan hanya 7,9 ha dengan j arak 21 mil dari Sabah dan 57,6 mil dari Sebatik.Masalah Sipadan dan Ligitan muncul menjadi sengketa tentang kepemilikannya, apakah Indonesia atau Malaysia bermula sejak tahun 1969, dimana sejak saat itu kedua negara menyepakati tidak akan melakukan kegiatan apapun pada kedua pulau tersebut sambil terus mengupayakan penyelesaiannya.
2. Dari sejarah “kepemilikan” Pulau Sipadan dan Ligitan ini dapat ditelusuri jauh kebelakang, berdasarkan argumen masing-masing negara, meliputi : a. Indonesia memiliki data-data sejarah yang mendukung klaim kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Ligitan, yaitu :
o Konvensi antara Belanda – Inggris pada tahun 1891 mengenai kesepakatan daerah di selatan garis paralel 4′ 10 menit Lintang Utara milik Belanda dimana Pulau Sipadan dan Ligitan berada di sebelah selatan garis itu.
o Kesepakatan tersebut dikukuhkan dalam peta yang dibuat Belanda dan diakui Inggris.
o Peta-peta yang dibuat Kartografi Stanford (Inggris) dan peta yang dibuat Badan Pemetaan Nasional Malaysia hingga 1970-an, tidak mencantumkan Sipadan – Ligitan sebagai milik Malaysia.
o Belanda telah melakukan kedaulatan dengan melakukan survei serta patroli dikedua pulau itu pada 1903 serta mendaratkan Kapal Lynx di Sipadan pada 1921.
o Izin penambangan minyak yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia dan Malaysia mengacu pada Konvensi 1891.
b. Demikian juga dengan Malaysia memiliki data-data sejarah, yaitu:
o Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan secara estafet dari Sultan Dent/Overback – Inggris – Malaysia serta Sultan Sulu -Spanyol – AS Inggris – Malaysia ( Chain of Title ).
o Doktrin penguasaan efektif secara berkesinambungan (effective occupation) atas kedua pulau tersebut.
o Malaysia lebih banyak memiliki bukti tindakan administratif di kedua pulau itu. Antara lain penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung oleh Inggris pada 1917, penarikan pajak bagi pengumpul telur penyu sejak tahun 1930 dan pengoperasian mercusuar sejak tahun 1960-an serta melaksanakan aktivitas kepariwisataan sejak 1980.
o Fakta bahwa, kapal perang AS pada 1903 mengunjungi Pulau Sipadan dan mengklaim menjadi miliknya.
o Tidak ada bukti tertulis bahwa kedua pulau itu pernah berada di bawah administrasi Belanda yang diperoleh dari Kesultanan Bulungan.
o Garis batas 40 10 menit Lintang Utara bukanlah allocation line, karena Ingris tidak pemah mengindikasikan keinginannya untuk menentukan batas laut territorial di Bomeo Utara.
3. Deklarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957 tentang Wawasan Nusantara yaitu mengenai status Indonesia sebagai negara kepulauan, dimana perairan territorial Indonesia sebelumnya hanya sejauh 3 mil dari tiap-tiap pulau di kepulauan Indonesia. Konvensi Hukum Laut I Jenewa 1958, Konvensi tentang Laut Teritorial memungkinkan suatu negara menarik garis pangkal dengan straight base line dan normal base line. Melalui Undang-Undang No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan dilakukan penarikan garis pangkal untuk mengukur laut teritorial sejauh 12 mil dari titik terluar dari pulau-pulau terluar. Titik dasar yang didapat dari hasil perhitungan diatas peta (tanpa melalui survei lapangan) sebayak 200 titik dasar dengan metode point to point theory.
Satu hal mendasar yang “terlupakan” dalam UU No. 4/Prpl1960 adalah Pulau Sipadan dan Ligitan tidak dimasukkan dalam wilayah negara kepulauan Indonesia.
4. Sesuai dengan berjalannya waktu, sengketa Sipadan-Ligitan mulai muncul pada tahun 1969 yaitu saat kedua negara mengadakan perundingan penetapan batas landas kontinen di perairan Selat Malaka dan Laut Sulawesi pada 22 September 1969 di Kuala Lumpur. Dalam pembahasan tentang batas landas kontinen di laut Sulawesi secara bersamaan baik delegasi Indonesia maupun Malaysia mengklaim pulau Sipadan dan Ligitan sebagai miliknya. Akhirnya dalam perundingan ini disepakati kedua pihak menahan diri dan tidak akan melakukan kegiatan apapun pada kedua pulau tersebut, sambil menunggu penyelesaian masalahnya. Kesepakatan kedua negara ini ditafsirkan oleh Indonesia sebagai penetapan “status quo” atas kedua pulau dimaksud
Namun dilain pihak Malaysia sejak tahun 1980-an telah melakukan berbagai pembangunan infrastruktur pariwisata bahari di kedua pulau, Sipadan dan Ligitan meskipun masih dalam status sengketa. Indonesia beberapa kali mengajukan protes kepada Malaysia, namun pengembangan pariwisata di kedua pulau berjalan terus.
5. Konferensi PBB tentang hukum laut III kpada 30 April 1982 di New York telah berhasil menyusun United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS’ 82) yang kemudian ditandatangani 117 negara termasuk Indonesia pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. Melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 tanggal 31 Desember 1985, Indonesia meratifikasi UNCLOS’ 82 yang berarti bahwa seluruh perangkat hukum Indonesia yang sudah ada atau akan ada harus mengacu kepada konvensi tersebut.
Dengan telah berlakunya UN,CLOS ‘82 secara resmi diseluruh dunia sejak 16 Nopember 1994, maka Indonesia secara yuridis formal telah diakui sebagai negara kepulauan, termasuk hak-hak dan kewajiban yang melekat pada wilayah negara kepulauan. Salah satu kewajiban Indonesia adalah penyesuaian cara penarikan garis pangkal sesuai dengan ketentuan dalam LJNCLOS ‘82, yang selanjutnya menjadi dasar untuk penetapan perbatasan wilayah laut, meliputi lebar Laut Teritorial 12 mil (pasal 3 LTNCLOS ‘82), Lajur Tambahan (Contigous Zone) 24 mil (pasal 33), Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil (pasal 48 dan 57) serta Landas Kontinen selebar 200 mil (pasal 76). Khusus untuk landas kontinen dimana konfigurasi dasar lautnya sedemikian rupa sehingga batas terluamya berada di continental margin yang terletak di luar 200 mil ditetapkan maksimum selebar 350 mil dari garis pangkal atau 100 mil dari kedalaman laut 2500 meter.
Tahun 1989 – 1995 Dishidros TNI-AL telah melaksanakan survei lapangan guna penyesuaian titik dasar yang terdapat dalam Undang-Undang 4/Prp/1960 (200 titik), dimana telah didapatkan 232 titik dasar. Hasil penyesuaian penarikan garis pangkal berdasarkan UNCLOS ‘82, maka didapat 189 titik dasar.
Hasil survei inilah (189 titik dasar) yang digunakan sebagai lampiran dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia berupa Peta Iktisar wilayah yuridiksi Negara Kepulauan Indonesia yang menggantikan Undang-Undang Nomor 4/Prpl1960, namun tanpa mencantumkan daftar koordinat titik-titik dasar.
Penetapan UU (Undang-Undang) Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia ini antara lain dimaksud untuk memasukkan (secara hukum) pulau Sipadan dan Ligitan yang tidak tercantum dalam UU No. 4/Prpl1960, namun masih sangat lemah karena batas wilayah negara Republik Indonesia hanya berupa Peta Iktisar, tanpa daftar koordinat titik-titik dasar.
6. Batas wilayah yang ditetapkan Inggris (British North Borneo Company) bersama Belanda di pulau Sebatik sepanjang garis paralel 4 derajat, 10 menit LU, tidak tegas menunjukkan apakah garis batas paralel tersebut ditarik ke laut sampai jauh kearah Timur / pulau Sipadan dan Ligitan. Dengan kata lain apakah konvensi 1891 hanya mengatur batas di darat (P. Sebatik) atau termasuk juga batas dilaut (sampai arah Sipadan – Ligitan ). Hal ini dapat dilihat dalam pasal 4, Konvensi 1891 sebagai berikut : From 4 degree 10 minutes latitude in the east coast the boundary line shall be continued eastward along that parallel, across the island of Sebatik,- that portion of the island situated to the north of that parallel shall belong unreservedly to the British North Borneo Company, and the portion south of that parallel to the Netherlands.
Indonesia mengartikan, garis batas 4 dera at 10 menit LU tersebut berlanjut terus ke laut. Karena itu, Indonesia berpendapat bahwa Konvensi 1891 tidak hanya mengatur batas darat Borneo, melainkan juga batas laut. Hal itu diperkuat dengan Mukadimah Konvensi 1891 yang menyebutkan, Konvensi dibuat untuk menetapkan batas antara wilayah milik Belanda di Pulau Borneo dan negaranegara di pulau tersebut yang berada dalam kekuasaan Inggris.
Penafsiran itu pun sesuai dengan Konvensi Wina 1969 Pasal 31 tentang Perjanjian Intemasional yang mengatakan, interpretasi suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, sesuai dengan makna kontekstual dan memperhatikan tujuan pembentukan.
7. Tujuh tahun kemudian, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 tahun 2002 tertanggal 28 Juni 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, batas wilayah juridiksi negara Kepulauan Indonesia ditetapkan termasuk pulau Sipadan (Titik Dasar No. 03 6 A) dan pulau Ligitan (Titik Dasar No. 036 B dan 036 C). Namun penetapan PP Nomor 38 tahun 2002 ini sudah cukup terlambat untuk mendukung klaim Indonesia bahwa pulau Sipadan-Ligitan masuk wilayah Indonesia, dikaitkan dengan upaya penyelesaian sengketa pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia telah disepakati melalui “Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia and Malaysia Concerning the Souverenity over pulau Sipadan and Ligitan” tanggal 31 Mei 1997, dimana kedua pihak memutuskan mengajukan sengketa kedua pulau ke ICJ (Malikamah Intemasional) di Den Haag. Kesepakatan tersebut langsung ditindaklanjuti pada 19 Nopember 1997 dan disusul Ratifikasi oleh Indonesia dengan Keppres Nomor 47 tahun 1997 tertanggal 29 Desember 1997. Special Agreement ini disampaikan ke ICJ pada 2 Nopember 1998 melalui Notifikasi bersama kedua negara. Hasil sidang ICJ tersebut nantinya bersifat final dan mengikat (final and binding), selaras dengan Piagam PBB Pasal 94 ayat 1.
8. Perkembangan terakhir dari sengketa pulau Sipadan dan Ligitan yang ditangani oleh ICJ temyata tidak secara khusus menggunakan argumen historis kedua negara. Para hakim ICJ yang berjumlah 17 orang (termasuk 2 orang hakin7 masing-masing mewakili Indonesia dan Malaysia), justru menggunakan ordonansi pengeluaran izin untukperlindungan margasatwa / burung pada tahun 1917 dan penarikan pajak pemungut telur penyu tahun 1930 oleh pemerintah Inggris. Hal ini merupakan pertimbangqn effectivities, dimana penierintah Inggris yang menjajah Malaysia saat itu telah nielaksanakan tindakan administratif di kedua pulau tersebut. Dalam persidangan terakhir ICJ di Den Haag, Belanda pada tanggal 17 Desember 2002, telah menjatuhkan putusan akhir dimana dari 17 hakim, hanya I orang yang memenangkan Indonesia, lainnya 16 orang hakim memenangkan Malaysia.
Keputusan final ICJ ini meneguhkan kedaulatan Malaysia atas pulau Sipadan dan Ligitan, dilain pihak Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa dan harus menerimanya karena keputusan ICJ bersifat final.
9. Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagis State) yang terbesar di dunua dengan 15.708 pulau dan panjang garis pantai 81.000 km, memiliki wilayah perbatasan maritime laut dengan 10 negara yaitu : India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Republik Palau, Papua Nuigini, Timor Leste dan Australia. Dari semua wilayah perbatasan dengan negara tetangga, baru perbatasan maritime antara Indonesia dan Australia yang sudah tuntas di tanda tangani pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth, Australia oleh Menteri Luar Negeri RI Ali A latas dan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer.
Dalam perjanjian batas maritime kedua negara ini, yang cukup menonjol dan perlu disqsialisasikan untuk Pemda di wilayah perbatasan adalah pulau Christmas yang memiliki wilayah ZEE selebar 38,75 mil (12 mil wilayah kedaulatan dan 26,75 mil wilayah ZEE, kearah Utara) dan Pulau Ashmore (dulu bemama Ashmore Reef) dengan ZEE selebar 24 mil (12 mil wilayah kedaulatan dan 12 mil ZEE).
10. Dengan adanya 9 wilayah perbatasan dengan negara tetangga yang belum tuntas penyelesaiannya, perlu upaya yang optimal dari instansi terkait antara lain Departemen Luar Negeri, Departemen Kela utan dan Perikanan (DKP), Departemen Sumber Daya Alam dan Mineral, Departemen Pertahanan, Dishidros TNI-AL dan lain-lainnya guna bersama-sama inenyelesaikannya. Masalah ini sangat mendesak mengingat potensi timbulnya konflik khususnya terhadap beberapa pulau-pulau diperbatasan, terutama nelayan-nelayan asing yang kadang-kadang menjadikan pulau kita sebagai pangkalannya, bahkan terjadi interaksi sosial dengan penduduk setempat yang pada gilirannya menimbulkan dampak negatif (penyebaran penyakit AIDS, berfoya-foya dengan minimum keras serta pelanggaran imigrasi)., Masalah lain yang mendesak untuk ditandaklanjuti adalah melaksanakan survey ulang (resurvey) diwilayah perbatasan Kalimantan Timur dan Malaysia sebagai akibat pulau Sipadan dan Ligitan telah menjadi milik Malaysia. Demikian juga dengan wilayah perairan perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste termasuk ALKI III A dan III B yang melalui perairan antara kedua negara perlu penyesuaiannya. Hasil survey ini akan digunakan untuk penetapan batas negara pada kedua wilayah tersebut diatas yaitu Kalimantan Timur dan Timor Leste.
11. Di wilayah perbatasan dengan negara tetangga terdapat puluhan “pulau-pulau kecil strategis ” yang perlu mendapat prioritas dari pemerintah untuk memberdayakan penduduknya dan meningkatkan pengamanannya agar tidak mudah didatangi orang asing secara illegal, yang dapat nienimbulkan dampak negatif, antara lain :
o Pulau Rondo, di wilayah Aceh (the mos, western islands of Indonesia) yang berbatasan dengan negara tetangga India, di pulau ini terdapat 2 titik dasar yaitu TD. 117 dan TD. 177A. Selama ini tidak ada permasalahan, namun tetap diwaspadai, mengingat pulau tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan nelayan asing sebagai persinggahan.
o Pulau Nipah di Selat Malaka / Selat Singapura. Di pulau ini terdapat 2 titik dasar yaitu TD. 190 dan TD. 190A. Permasalahan yang timbul adalah kegiatan penganibilan pasir dari Pulau Nipah yang dijual ke Singapura, yang akan menenggelamkan pulau ini. Data di lapangan menunjukkan bahwa luar Pulau Nipah yang 60 ha, pada saat pasang tertinggi daratannya tinggal IO% (6 ha), menyebabkan titik dasar yang ada dapat hilang sehingga batas wilayah dengan hegara tetangga Singapura dan Malaysia akan terganggu.
o Pulau Miangas (Las Palmas), terletak di Kabupaten Sangir Talaud (Satal) dan merupakan pulau paling utara dari gugusan kepulauan Satal, bellim ada penyelesaian kepemilikan dengan Philipina, namun de fakto ada suar yang dibangun Indonesia di pulau ini dan penduduknya adalah Indonesia. Terdapat juga 2 titik dasar yaitu TD. 056 dan TD. 056A. Pulau Miangas ini menurut Undang-Undang Dasar Philipina (tahun 1898) masuk wilayah maritime Philipina, sehingga setiap upaya membahasnya dengan Philipina selalu menemui jalan buntu. Philipina menyatakan bahwa bila Pulau Miangas dikeluarkan dari wilayah Philipina, berarti harus mengubah UUD.
o Pulau-pulau Mapia, terletak di utara Propinsi Papua. Dalam gugusan Pulau Mapia ini terdapat 2 titik dasar yaitu TD. 072 di Pulau Fanildo dan TD 072A di Pulau Bras. Permasalahan yang menon;,,l tidak ada karena jaraknya ke Republik Palau cukup jauh yaitu 382 mil, hanya bila Indonesia dan Republik Palau menetapkan perairan ZEE-nya, akan terdapat overlap perairannya.
o Pulau Pasir (pulau Ashmore), pulau ini lebih dikenal dengan Pulau Ashmore, di dalam peta-peta lama dikenal juga dengan nama Ashmore Reef, terlet@k di sebelah selatan Pulau Roti (N7T). Pulau tidak ada permasalahan karena perjanjian batas maritime antara Indonesia dan Australia yang ditandatangani 17 Maret 1997, menjadikan pulau ini resmi menjadi milik Australia. Dari penelitian Tim Indonesia sebelum perjanjian ditandatangani diketahui bahwa di pulau. Pasir ini tumbuh 2 pohon kelapa, lapisan tanah dibawah lapisan pasir karang terdapat lapisan tanah biasa yang dapat menumbuhkan vegetasi serta terdapat air tawar, maka diterapkan pasal 121 UNCLOS ‘82, yaitu pulau ini dapat mendukung kehidupan manusia. Oleh sebab itu Pulau Pasir ini memiliki perairan ZEE 24 mil (ke arah utara, Indonesia) termasuk didalamnya perairan kedaulatan 12 mil. Dengan letak yang strategis dari beberapa pulau-pulau kecil diperbatasan yang sekaligus berpotensi konflik baik dari aspek ekonomi, maupun aspek pertahaiian, peiiierintali seyogyaiiya iiieiiiprioritaskan pengelolaaii pLi]aLlpulau tersebut.
12. Kesimpulan
o Bila kita melihat kebelakang tentang upaya-upaya Indonesia yang telah dilakukan sejak tahun 1960-an untuk menyelesaikan sengketa pulau Sipadan Ligitan, maka sebenarnya upaya-upaya tersebut eukup intensif, namun masih terdapat berbagai kekurangan-kekurangan, antara lain
o Sejak negara kesatuan Republik Indonesia terbentuk pada 1945, tidak pemah melakukan aktivitas ekonomi di kedua pulau Sipadan dan Ligitan, jadi Indonesia tidak ada upaya dalam pengelolaan sumberdaya yang terdapat pada kedua pulau Sipadan dan Ligitan. Sebaliknya Malaysia sejah tahun 1980-an telah menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai pulau wisata bahari.
o Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia terdapat “Ke-alpaan” para penyusun Undang-Undang tersebut yaitu dengan tidak mencantumkan pulau Sipadan dan Ligitan dalam wilayah kedaulatan negara kepulauan Indonesia.
o Demikian juga dengan penetapan PP No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang sekaligus menggantikan UU No.4/Prp/1960 tidak mencantumkan daftar koordinat titik dasar wilayah kepulauan Indonesia, PP hanya dilampiri peta Ikhtisar wilayah yuridiksi kepulauan Indonesia.
o Sistem pengars,ipan Indonesia terhadap dokumen-dokumen sejarah, khususnya menyangkut dokumen wilayah perbatasan yang ada sejak tahun 1900-an sangat lemah, sehingga saat dokumen-dokumen dibutuhkan kita harus ke negara tertentu misalnya Belanda dan Inggris untuk menelusurinya. Hal ini membutuhkan waktu dan biaya yang besar dan belum tentu negara bersangkutan “mau memberikan secara ikhlas” data dan peta-peta dimaksud.
o Pengelolaan pulau-pulau kecil yang terletak di wilayah perbatasan belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah pusat, khususnya aspek ekonomi, social, budaya dan pertahanan keamanan sehingga beberapa pulau kecil diperbatasan secara bebas didatangi orang asing bahkan mereka berinteraksi dan menetap di pulau-pula.u tersebut.
o Mengoptimalkan upaya penyelesaian masalah perbatasan dengan 9 negara tetangga, melalui sinergis instansi terkait, sehingga pembangunan dan pengembangan wilayah perbatasan dapat dilaksanakan secara komprehensif
13. Saran – Saran
o Terlepasnya pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia telah menyadarkan bangsa Indonesia untuk mengambil strategi kebijakan dalam pengelolaan pulau-pulau di wilayah perbatasan yang memiliki potensi konflik.
o Untuk itu kami menyarankan untuk
o Mengubah status wilayah pulau-pulau diperbatasan yang selama ini sebagai cost center menjadi profit center guna menin ‘katkan taraf hidup penduduknya., yang harus diagendakan bersama antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, termasuk aparat keamanan.
o Pembangunan sarana dan prasarana ekonomi termasuk sarana transportasi laut yang menghubungkan pulau-pulau di perbatasan deiigan wilayah induknya.
o Pemberdayaan masyarakat di pulau-pulau wilayah perbatasan, dimana secara umum potensi kelautan dan perikanan cukup banyak.
o Mengembangkan pengelolaan pulau-pulau di wilayah di perbatasan, antara lain sebagai wilayah konservasi dan objek wisata bahari.
o Pembangunan sarana pengamanan, antara lain membangun Pos Pengamatan TNI-AL (POSAL) dengan personil pengawik yang memadai jumlahnya dan sarana pendukungnya. Disamping itu perlu secara rutin unsur-unsur TNI-AL dari Guskamla maupun Guspurla mengadakan patroli kepulau-pulau di wilayah perbatasan, sehinga kesadaran masyarakat sebagai bagian dari NKRI dapat di pelihara.
o Perlu diprioritaskan upaya penyelesaian yang komprehensif masalah wilayah perbatasan 9 negara tetangga serta survei ulang (Resurvey) perbatasan RI – Malaysia di Kalimantan Timur dan perbatasan maritim dengan Timor Leste, khususnya pulau-pulau kecil strategis yang memiliki potensi perinasalahan.
14. Demikian tanggapan dan masukan kami atas lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia, berdasarkan keputusan sidang ICJ di Den Haag tanggal 17 Desember 2002, kami sampaikan untuk menjadikan periksa dan terima kasih
Sumber : Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Kelembagaan DKP




Prabowo Subianto
Meski bersaing di ajang pemilihan presiden dan wakil presiden, kandidat dari PDI Perjugan dan Gerindra, Prabowo Subianto tak segan mendukung kebijakan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dari mulutnya, dua kali terlontar kalimat dukungan terhadap SBY dalam upaya mempertahankan kedaulatan bangsa.
“Dalam hal ini, kita harus mendukung pemerintah dan presiden yang memimpin,” tegas Prabowo di kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, Jumat (5/6/2009) malam.

Pernyataan dukungan itu dia lontarkan, menyikapi persoalan sengketa Blok Ambalat. Menurutnya, seluruh elemen bangsa harus bersatu mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. “Semua unsur bangsa harus bersatu dan mendukung Presiden RI supaya bangsa ini satu untuk mempertahankan kedaulatan,” ujarnya
Meski demikian, Prabowo meminta pemerintah mengedepankan sikap diplomasi dalam sengketa Blok Ambalat ini. Pemerintah kata dia, mesti tetap bersahabat dengan Malaysia. “Hubungan persahabatan jangan sampai rusak,” imbuhnya.
Akan tetapi bila Malaysia benar-benar menginginkan pengambilalihan Blok Ambalat, maka pemerintah sepatutnya bersikap tegas atas intervensi tersebut. “Ada hal-hal yang tidak bisa ditawar,” sambungnya.

BANDUNG - Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto menyatakan kesiapannya kembali untuk menjadi seorang prajurit tentara jika Indonesia berperang melawan Malaysia dalam mempertahankan perbatasan Ambalat.

"Saya siap menjadi prajurit kembali. Pangkatnya tidak perlu tinggi-tinggi, cukup menjadi komandan kompi," ujar Prabowo kepada wartawan usai bersilaturahmi dengan pedagang Pasar Caringin, Bandung, Kamis (4/6/2009).

Menurutnya, perairan Indonesia di kawasan perbatasan kerap dilewati kapal tentara Malaysia. Hal ini dikarenakan angkatan bersenjata Negeri Jiran sudah mengetahui kekuatan perang Indonesia. "Saya tidak tahu apakah mereka meledek kita atau nantang," tandasnya.

Jika dipercaya menjadi wakil presiden, Prabowo mengaku akan lebih memperhatikan alat utama sistem persenjataan (alutsista). "Sekarang ini alutsista kurang diperhatikan karena anggaran negara masih bocor," pungkas mantan Pangkostrad tersebut.(teb) (Raka Zaipul/Koran SI/mbs)
Liputan6.com, Jakarta: Situasi perairan blok Ambalat saat ini terkendali. Demikian disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS usai menghadiri pernikahan putra Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/6).

Meski begitu, Widodo tak menjelaskan secara rinci situasi terakhir Ambalat sejak beberapa hari terakhir dimasuki armada perang Malaysia. Widodo malah meminta wartawan menanyakan kondisi perairan di Kalimantan Timur itu kepada Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri.

Sebelumnya, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyatakan Indonesia tak gentar gentar terhadap berbagai manuver Malaysia di Blok Ambalat, baik dalam bentuk pergelaran kekuatan militer maupun propaganda kepada masyarakat. "Silakan saja Malaysia bermanuver. Yang jelas, Ambalat adalah bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Juwono.(ANTARA/YUS)

Menurut VivaNews, cadangan minyak besar telah ditemukan di perairan Ambalat. Kapasitasnya katanya bisa mencapai 30-40 ribu barel per hari. Yang menemukan adalah Eni Spa, perusahaan migas milik pemerintah Italia, pada blok Aster yang dikelolanya. Kalau tes dan uji coba berhasil, produksi bisa dimulai tahun 2010.
Menarik untuk membahas blok ini, karena letaknya yang berdekatan dengan perbatasan Malaysia. Wilayah ini juga sensitif, karena pernah terjadi gesekan-gesekan di laut terkait dengan batas mana yang dipergunakan. Apakah versi Malaysia atau versi Indonesia.
Memang, sebelum Pulau Sipadan dan Ligitan dimenangkan oleh Malaysia di Mahkamah Internasional, perbatasan kedua negara adalah garis lurus dari Barat ke Timur ke arah Sulawesi tepat pada titik yang membelah pulau Sebatik menjadi dua bagian. Setelah dua pulau itu direbut oleh Malaysia, selayaknyalah perbatasan itu diperbaiki dengan memberikan tambahan lingkaran 20 mil laut seputar ke dua pulau tersebut.
Kenyataannya ternyata tidaklah demikian. Malaysia ngotot meminta garis perbatasan itu turun 45 derajat arah Timur Laut selepas Pulau Sebatik ke arah Sulawesi. Alasannya ? Ya karena kedua pulau yang baru mereka dapatkan dari Mahkamah Internasional itu. Garis itu memasuki wilayah blok yang sekarang sedang dikembangkan oleh Eni.
Pemerintah tidak tinggal diam. Satu skuadron F-16 disiapkan di Balikpapan, jajaran Sukhoi juga sudah dirapatkan di Makassar. Dan 6 kapal perang termasuk yang baru saja datang dari Belanda dikirimkan untuk menjaga perbatasan di sana. Termasuk juga penambahan jumlah pasukan yang diirimkan via laut untuk bermarkas di Pulau Tarakan dan Sebatik.
Pengerahan kekuatan militer itu memberikan sinyal kepada negara jiran untuk tidak main-main lagi dengan Indonesia. Petinggi Eni Spa dari Itali juga sudah pernah bertemu dengan Pak Beye dan mendapatkan dukungan penuh. Indonesia lelah bermain-main dengan Mahkamah Internasional dan mengikuti langkah Malaysia dulu untuk menguasai Pulau Sipadan dan Ligitan.
Mula-mula mengirimkan nelayan untuk singgah. Begitu tidak ada reaksi, membuat pemukiman nelayan. Tidak ada reaksi juga, buat mercu suar dan plakat tapal batas. Beres urusan. Sisanya tinggal bersilat lidah di mahkamah ruang sudang internasional. Langkah ini juga pernah ditiru oleh Singapura sewaktu menguasai pulau Preda Branca (atau Batu Puteh versi Malaysia) yang jaraknya berlipat lipat Singapura - Batam pp.
Kali ini Indonesia mengirimkan pengeboran lepas pantai bekerjasama dengan Eni. Rig itu ketika beroparsi nanti akan mengerek tinggi-tinggi sang saka Merah Putih di perairan Ambalat sana. Lengkap dengan armada kapal perang paling canggih milik negeri. … siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu membelaaaaa ….. Ini penting untuk menunjukan secara de facto bahwa wilayah tersebut adalah milik Ibu Pertiwi.
Indonesia sudah capek dengan pat gulipat seperti sebelumnya. Kali ini, alih-alih bernegosiasi di meja internasional, Ambalat harus diduduki terlebih dahulu. Negosiasi belakangan saja.
Tahun ini adalah tahun politik bagi Indonesia. Pemilihan presiden akan dilakukan dalam 3 bulan lagi. Dan Ambalat, terus terang menarik untuk dijadikan objek politik.
Ketika sebuah bangsa terpecah belah oleh isu domestik, diperlukan musuh dari luar untuk menjaga persatuan, mengikis perbedaan, meningkatkan rasa kebangsaan, dan memberikan dukungan luar biasa bagi sang pemimpin negeri.
Jadi jangan heran kalau isu Ambalat akan menjadi hot spot dalam 3 bulan mendatang. Mungkin perlu juga dikunjungi dengan kapal perang sekali lagi seperti waktu itu. Sekaedar nostalgia sambil melihat pulau-pulau terluar negeri ini. Dijamin akan cakep sekali gambar dan beritanya


Penganiayaan TKI di Malaysia Terjadi Lagi
Senin, 08 Juni 2009 22:59 WIB

KUALA LUMPUR--MI: Siti Hajar, pembantu rumah tangga asal Garut, Jawa Barat, disiksa dan tidak dibayar gajinya selama 34 bulan oleh majikannya di Malaysia.

"Menurut pengakuan Siti Hajar, dia selalu disiksa, disiram air panas, dipukul dengan benda keras hingga mengalami luka parah," kata Dubes RI untuk Malaysia Da'i Bachtiar dalam jumpa pers di Kuala Lumpur, Senin (8/6) sore, sambil menunjukan foto-foto korban yang badan dan kepalanya masih penuh darah.

Bahkan menurut Amirudin, kepala Satgas Perlindungan dan Pelayanan WNI KBRI Kuala Lumpur, Siti Hajar juga disiksa badannya. Da'i menjelaskan penyiksaan itu kepada pers setelah majikannya Hau Yuang Tyng atau dipanggil akrab Michelle diserahkan ke polisi Malaysia untuk diperiksa dan diproses berdasarkan hukum.

Setelah melaporkan penyiksaan yang diderita Siti Hajar ke kantor polisi, korban kemudian dibawa ke rumah sakit Universitas Malaya untuk dibuatkan visum.

Siti Hajar, warga desa Limbangan Barat, Garut, Jawa Barat mulai bekerja sebagai pembantu sejak 2 Juli 2006. Pada majikan pertama dia hanya bekerja lima hari. Dengan majikan ke-2, Michelle, dia sudah bekerja selama 34 bulan.

Selama 34 bulan tersebut, ia tidak pernah menerima gaji 500 ringgit per bulan sehingga totalnya 17.000 ringgit, kata mantan Kapolri itu.

Sejak dari awal, Siti Hajar sering disiksa, namun makin lama siksaannya makin keterlaluan, hingga korban mengalami luka parah. Minggu malam, akhirnya dia berhasil kabur dari rumah majikan kemudian naik taksi lari ke kedutaan. Oleh sopir taksi, korban malah diberi uang 10 ringgit.

"Kami mengucapkan terima kasih kepada sopir taksi tersebut karena sudah tidak terima uang dari penumpang, malah penumpangnya diberikan uang," kata Da'i.

KBRI kemudian melakukan advokasi ke Siti Hajar sejak Senin jam 08.30. Setelah mendengarkan keterangan korban, KBRI kemudian memanggil majikannya dan Michelle datang ke KBRI.

"Di KBRI, Michelle mengakui semua tindakan penyiksaan seperti yang diceritakan Siti Hajar. Majikannya juga menangis meraung-raung sambil memohon maaf kepada Siti Hajar," kata Da'i.

Majikan Siti Hajar juga mengakui dirinya orang yang temperamental atau cepat marah. Michelle mengakui menjadi orang tua tunggal dengan dua anak. Ia juga bersedia membayar gaji Siti Hajar selama 34 bulan.

"Kami menuntut majikan agar membayar gajinya sebesar 17.000 ringgit dan juga menuntut agar kasus ini dibawa ke pengadilan," kata Da'i.

"Siti Hajar masih divisum di rumah sakit. Tergantung keputusan dokter apakah harus dirawat atau bisa kembali ke KBRI dan menginap di penampungan. Kami akan segera mengontak keluarga korban di Garut," ujar Da'i. Dubes juga mengucapkan terima kasih kepada kepolisian Malaysia yang telah membantu dan kerjasama dengan baik. (Ant/OL-03)

Tidak ada komentar: