Selasa, 07 Juli 2009

TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG MENDUKUNG PENYEDIAAN PAKAN TERNAK KAMBING DI LOMBOK TIMUR

TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG MENDUKUNG PENYEDIAAN PAKAN TERNAK KAMBING DI LOMBOK TIMUR
Bahtiar1) dan Awaludin Hipi2)
1)Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros, Sulawesi Selatan
2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK
Pengelolaan tanaman jagung untuk tujuan produksi pakan dan biji dilaksanakan di Kabupaten Lombok Timur pada tahun 2004 oleh satu tim terpadu antara peneliti Balitsereal dengan Peneliti BPTP NTB dengan melibatkan petani sebagai pelaksana. Pengamatan baru ditujukan kepada produksi pakan dan biji jagung untuk mengetahui potensi dukungan pakannya terhadap penyediaan pakan ternak kambing. Hasil penelitian menunjukan bahwa teknologi produksi biomas dari tanaman jagung mampu menghasilkan pakan secara bertahap sebanyak 39,44 t/ha dan produksi biji kering 4,91 t/ha. Jika biomas dan hasil biji tersebut dinilai dengan harga yang berlaku di Kabupaten Lombok Timur, petani dapat memperoleh pendapatan sekitar 6 juta per hektar dengan hanya mengorbankan biaya sekitar 1,3 juta per hektar dan curahan tenaga kerja sekitar 98 HOK. Cara produksi tersebut mendapat kesan yang baik dari petani koperator, pembina masyarakat (KID) dan Petugas Pertanian Lapangan, sedang bagi petani non koperator hal tersebut merupakan hal yang baru dan mereka masih kebanyakan meragukan keberhasilannya.
Kata kunci: Keterpaduan tanaman – ternak, produksi biomas dan biji kering, pendapatan usahatani.
PENDAHULUAN
Komoditas jagung dan ternak kambing keduanya merupakan sumber pendapatan petani di pedesaan. Kedua komoditas tersebut dapat dikelola secara bersamaan oleh satu rumah tangga petani karena saling menunjang. Pola integrasi tanaman – ternak telah lama dipraktekkan petani di Indonesia dan Asia Tenggara, namun pengelolaannya masih kebanyakan bersifat tradisionil (Diwyanto, K. dan E. Handiwirawan, 2004).
Kabupaten Lombok Timur yang ditetapkan sebagai lokasi binaan Proyek Pengentasan Kemiskinan (PFI3P) mempunyai potensi pertanian yang cukup baik untuk dijadikan sebagai pengembangan teknologi integrasi tanaman – ternak karena mempunyai iklim tipe D dan E. Curah hujan pada daerah iklim tipe E rata-rata 669 mm/tahun, sedang pada daerah tipe D, curah hujan 1289 – 1640 mm/tahun. Lahannya terdiri dari 48,1% lahan kering, sedang lahan tegalan dan sawah masing-masing 16,1 dan 28,4% (BPTP NTB, 2003). Distribusi curah hujan berlangsung singkat yaitu 3-4 bulan dalm setahun (BPS Propinsi NTB, 2002).
Berdasarkan hasil studi Participatory Rural Appraisal (PRA) diperoleh informasi bahwa jenis tanaman pangan yang menjadi prioritas adalah jagung dan jenis ternak yang banyak dipelihara oleh petani adalah kambing (PFI3P, 2003a; PFI3P,2003 b).
Jagung yang dapat ditanam pada berbagai tipe lahan semakin berkembang dan cenderung menggeser komoditi tanaman pangan lainnya. Hal ini disebabkan oleh sistem budidayanya relatif lebih mudah dan permintaan pasar dalam negeri semakin meningkat terutama dalam memenuhi kebutuhan industri pakan ternak. Selain itu, tanaman jagung dapat menghasilkan biomas untuk pakan ternak dalam jumlah cukup apabila ditata waktu tanamnya disesuaikan dengan kebutuhan ternak.
Pemeliharaan kambing dengan sistim kandang telah lama dikerjakan petani di Lombok Timur, walaupun dengan pemeliharaan yang tradisionil. Kotoran kambing belum diproses menjadi pupuk organik pada hal menurut kajian pemanfaatan pupuk organik (kotoran ternak) terhadap produksi dan kualitas padi menunjukkan bahwa penggunaan pupuk an organik (Urea, SP36, dan KCL) dapat dihemat sebanyak 70% dari dosis anjuran (350 – 150 – 100) dengan penggunaan pupuk organik dan sekaligus telah dapat meningkatkan kualitas gabah sehingga nilai jualnya tinggi. Sebaliknya limbah padi (jerami) yang ditambahkan probiotik dapat meningkatkan kualitas pakan sapi dan sekaligus meningkatkan laju pertumbuhan berat badan ternak (Wardhani, N.K. dan A. Musofie, 2002; Tim Teknis, 2004).
Konsep pengelolaan integrasi tersebut juga berpeluang besar diterapkan pada integrasi tanaman jagung dengan ternak kambing. Teknologi produksi biomas jagung telah tersedia dan menunjukkan bahwa dengan varietas unggul bersari bebas pada populasi tanaman 130.000 mampu menghasilkan biomass segar sebanyak 50 t/ha, dan pada populasi 200.000 mampu menghasilkan 70 t/ha apabila dipanen pada umur 70 hari (Akil et al., 004). Produksi biomas tersebut jika dikaitkan dengan kebutuhan pakan ternak kambing rata-rata 5,9 kg/hari/ekor (Suprapto et al. 2002). Dengan demikian teknologi produksi biomas jagung tersebut dapat menyediakan pakan ternak kambing dengan mengatur waktu penanaman sehingga tersedia pakan sepanjang tahun.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk mengetahui :
1. Tingkat produksi biomass segar yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dan produksi biji kering panen
2. Pendapatan petani baik dari nilai biomass segar maupun dari hasil biji kering
3. Respon petani terhadap teknologi penyediaan pakan ternak kambing
METODOLOGI
Dukungan Balai Penelitian Tanaman Serealia (BALITSEREAL) terhadap penelitian optimalisasi sistem usahatani ternak – tanaman pangan berbasis kambing difokuskan kepada dua komponen yaitu : pemanfaatan benih unggul, pemupukan berimbang, dan teknologi produksi biomas untuk pakan ternak. Ketiga komponen tersebut dipadukan dan dilaksanakan pada lahan petani koperator. Empat kelompok tani yang terpilih yaitu: kelompok tani di Dusun Wakan, kelompok tani di Dusun Dalem, kelompok tani di Dusun Penjaik, dan kelompok tani di Dusun Baru masing-masing dengan luasan 0,25 ha.
Paket teknologi budidaya yang dikembngkan adalah sebagai berikut:
a. Benih unggul yang diintroduksi adalah varietas srikandi kuning 1 (Jagung Quality Protein Maize=QPM). Varietas tersebut mempunyai kelebihan berupa nilai gizinya lebih baik dibanding dengan jagung biasa.
b. Jika ditanam pada lahan sawah tadah hujan setelah panen padi, tanah tidak perlu diolah/dibajak, tetapi langsung ditugal (TOT). Tetapi jika ditanam pada lahan kering pada musim penghujan, penyiapan lahan disesuaikan dengan cara petani yaitu bajak dengan ternak.
c. Untuk menghindari serangan penyakit bulai, benih diperlakukan dengan saromil yaitu 1 gr saromil/kg benih. Saromil dilarutkan dalam 1 ml air lalu dimasukkan benih jagung dan diaduk merata sampai seluruh permukaan biji jagung terkena saromil.
d. Penanaman dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm, 5-6 biji perlubang. Tanaman ditutup dengan pupuk kandang segenggam/lubang tanam.
e. Dipupuk dengan 600 kg urea/ha, 100 kg SP36/ha. Pemupukan pertama dilakukan pada umur 7-10 hari dengan dosis 150 kg urea/ha dicampur dengan 100 kg SP36/ha, ditugal di sekitar rumpun tanaman. Kemudian pemupukan kedua dilakukan pada umur 20-25 hari setelah tanam dengan dosis 300 kg urea/ha. Seterusnya pemupukan ke tiga dilakukan pada umur 40-45 hari dengan dosis 150 kg urea/ha.
f. Penyiangan dilakukan 2 kali yaitu pada umur 21 hari dan 45 hari
g. Panen, panen biomas segar dilakukan 4 (empat) kali yaitu :
• Memotong 2 tanaman/rumpun pada umur 30 hari,
• Memotong 1 tanaman/rumpun pada umur 42 hari
• Memotong daun bawah tongkol pada umur 60 hari
• Memotong batang diatas tongkol pada umur 80 hari
h. Panen biji kering pada saat masak fisiologi yang ditandai dengan terbentuknya black layer pada biji jagung.
Variabel yang diamati berupa pertumbuhan dan produksi biomass sebagai berikut
a. Produksi biomas pada setiap periode panen (t/ha)
b. Produksi biji kering (t/ha)
c. Respon petani/masyarakat terhadap teknologi produksi biomas untuk pakan kambing (menerima, menimbang, ragu, menolak)
d. Harga biomas (pakan ternak) pada setiap periode panen dan harga jagung biji kering (Rp/kg)
e. Biaya sarana produksi berupa benih, pupuk, obat-obatan (Rp/ha)
f. Biaya tenaga kerja riil yang dikeluarkan petani dalam operasional pertanaman jagung.
Keberhasilan penerapan teknologi produksi biomas ini dilihat dari dua sisi yaitu penerimaan yang diperoleh dari usahatani jagung dengan analisis biaya dan pendapatan (Return Cost Ratio) dan respon masyarakat terhadap sistem penyediaan pakan dari biomas jagung dengan analisis adopsi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Biomas Segar
Pada umur 30 hari dipanen dua batang per rumpun dan menghasilkan biomas segar sebanyak 19 t/ha. Kualitas biomas ini sangat baik, seratnya masih sangat lunak sehingga sangat disukai oleh ternak kambing. Biomas yang dipanen pada umur 30 hari dapat bertahan sampai 3 hari dan tetap masih disukai ternak kambing. Dengan demikian pemanenan di lapangan cukup dilakukan 2 kali semimggu disesuaikan dengan kebutuhan ternak itu sendiri.
Pada umur 42 hari dipanen lagi satu batang per rumpun dan menghasilkan biomas 9,82 t/ha dengan kualitas biomas segar yang hampir sama dengan biomas umur 30 hari hanya saja sedikit bertambah kasar seratnya. Selanjutnya pada umur 60 hari ketika telah terjadi pembuahan daun bawah tongkol dari tanaman yang tersisa (2 tanaman per rumpun) rata-rata 3-4 helai daun per tanaman, dapat menghasilkan biomas sebanyak 6,31 t/ha dengan kualitas yang lebih jelek dibanding dengan panen pertama dan kedua. Selera kambing untuk mengkonsumsi biomas ini tidak sebaik dengan biomas panen pertama dan kedua, namun tetap saja mengkonsumsinya. Terakhir, pada umur 80 hari panen biomas ke empat adalah batang diatas tongkol dipotong, menghasilkan biomas sebanyak 4,31 t/ha dengan kualitas hampir sama dengan biomas daun bawah tongkol yaitu seratnya kasar dan agak keras sehingga tidak terlalu disenangi oleh ternak kambing (Tabel 1).
Tabel 1 . Produksi biomass segar dan biji pada penelitian di Lombok Timur, 2004
No Uraian Umur (hst) Produksi (t/ha) Harga1) (Rp/kg) Nilai (Rp/ha)
1 Panen 2 tanaman /lubang 30 19,00 75 1.425.000
2 Panen 1 tanaman/lubang 42 9,82 75 736.500
3 Panen daun bawah tongkol 60 6,31 75 473.250
4 Panen batang diatas tongkol 80 4,31 75 323.250
5 Panen biji / tongkol 115 4,91 1.150 5.646.500
Jumlah 8.604.500
1) Dikonversi dari harga pakan di kota Lombok Timur yaitu Rp.1.500/ikat isi sekitar 50 batang jagung dengan berat 20 kg.
Hasil analisa laboratorium terhadap kandungan gizi pakan yang dihasilkan menunjukkan bahwa protein kasar dan jumlah kalori yang terkandung di daun lebih tinggi dibanding dengan di batang. Sebaliknya serat kasar lebih tinggi di batang dari pada di daun. Data tersebut menunjukkan bahwa pakan dari limbah jagung QPM mengandung gizi yang cukup baik dibanding dengan jagung biasa. Pada jerami jagung biasa hanya mengandung 7,4% protein dan 27,8% serat kasar (Direktorat Bina Produksi Tanaman Pangan, 2002) jauh lebih sedikit dibanding dengan pada jagung QPM (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil uji kandungan gizi dari batang dan daun jagung di Kabupaten Lombok Timur, 2005
Bagian tanaman Protein kasar % Serat kasar (%) Kalori (Cal/gr)
Batang
Daun 8,40
13,12 35,11
25,65 2933,50
3143,84
Sumber : Laboratorium BPTP NTB No. Data Hasil Analisa:006/DHA-LAB/TN/III/2005
Jika seluruh biomas yang dipanen tersebut dinilai dengan harga yang berlaku di kota Lombok Timur yaitu Rp.1500 per ikat (50 batang dengan berat 20 kg) equivalen dengan Rp.75/kg, maka produksi biomas dapat memberikan penerimaan sebanyak Rp.2.958.000/ha dengan korbanan tenaga keluarga untuk melakukan panen sebanyak 30 HOK (Tabel 3).
Tabel 3. Biaya produksi pada penelitian di Lombok Timur, 2004
No Uraian Jumlah Harga (Rp/satuan) Nilai (Rp/ha)
1 Saprodi
• Benih jagung
• Saromil
• Urea
• SP36
45
10,5
600
100
7.000
4.500
1.300
1.750 1.317.250
315.000
47.250
780.000
175.000
2 Tenaga kerja HOK Biaya riil yang dikeluarkan (Rp)
• Pengolahan tanah
• Penanaman
• Pemupukan
• Penyiangan
• Panen biomass
• Panen biji 0
7
21
30
30
10 450.000
100.000

100.000
Jumlah biaya tenaga kerja 98 650.000
Penggunaan tenaga kerja tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan tenaga yang digunakan dalam mencari pakan secara bebas di alam/hutan karena selain jaraknya jauh, juga harus mencari dan menelusuri pematang sawah atau pinggir-pinggir pagar di kebun. Cara penyediaan pakan demikian memberikan beberapa keuntungan antara lain: hemat tenaga kerja keluarga dalam menyediakan pakan untuk ternak kambing, petani mendapatkan pakan tanpa harus mengorbankan produksi biji jagungnya, ternak kambing dapat terjamin pakannya.
Produksi Biji Kering
Selain produksi pakan untuk ternak kambing, teknologi ini juga masih memproduksi biji kering. Hasil yang dicapai rata-rata dari petani koperator adalah 4,31 t/ha. Tingkat produksi ini dinilai cukup tinggi dan mampu melebihi dua kali lipat dari produktivitas jagung NTB yaitu hanya 2,02 t/ha (BPS, 2002).
Analisis usahatani menunjukkan bahwa pengelolaan ushatani jagung dengan orientasi produksi biomas untuk pakan ternak dan biji cukup menjanikan dengan nilai rasio penerimaan – biaya mencapai 4,37 yang berarti cukup menguntungkan dan layak dikembangkan sebab usahatani jagung dikatakan layak secara finansial dikembangkan apabila profitabilitasnya minimal 20% atau rasio penerimaan – biaya minimal 1,20 (Simatupang, 2002). Secara kuantitatif dengan asumsi biomas yang dihasilkan dinilai dengan harga pakan yang berlaku di kota Lombok Timur maka pendapatan petani mencapai Rp. 6.6375.000/ha (Tabel 4).
Tabel 4. Analisi biaya dan pendapatan pada penelitian di Lombok Timur, 2004
No Uraian Jumlah (Rp/ha)
1. Penerimaan dari biomass segar dan biji kering 8.604.500
2. Biaya saprodi (Benih, pupuk, dan obat-obatan)
Biaya Tenaga kerja yang riil dibayarkan petani 1.317.250
650.000
3. Pendapatan 6.637.250
4. R/C-ratio 4,37
Upaya mencari umpan balik dari teknologi produksi biomas dan biji dilakukan dengan menghimpun pendapat/respon komponen masyarakat yang terdiri atas petani yang melaksanakan pengujian (koperator), petani yang menyaksikan pengujian tersebut (non koperator), Petugas Pertanian Lapangan (PPL), dan tokoh masyarakat yang memperhatikan pembangunan masyarakatnya (KID). Responnya menunjukkan bahwa dari 5 petani koperator, 4 diantaranya menyatakan teknologi tersebut menguntungkan dan 1 diantaranya masih meragukan karena percobaan yang dikerjakan kurang berhasil. Kemudian dari pihak pemerintah yaitu petugas yang ditunjuk merancang pembangunan masyarakat mengatakan bahwa teknologi tersebut sangat baik dan menguntungkan petani. Sedangkan petani yang berada di sekitar percobaan dan melihat langsung di lapangan beberapa diantranya berada pada tahap menilai dan beberapa lainnya masih meragukan keberhasilannya (Tabel 5).
Tabel 5. Respon petani terhadap teknologi penyediaan pakan ternak pada penelitian di Timur, 2004.
No Penilai/Pemberi Respon Respon1)
Menerima Menilai Ragu Menolak
1.
2.
3.
4. Petani koperator ( n = 5)
Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) (n = 2)
Komite Investasi Desa (KID) (n = 1)
Petani non koperator (n = 10) 4
2
1
0 0
0
0
5 1
0
0
5 0
0
0
0
1) Menerima : Telah mengakui keunggulan dan kebaikannya dan akan berusaha menerapkan apabila lingkungan sekitarnya mendukung.
Menilai : Mereka baru pada tahap menghitung untung ruginya jika menerapkan, apakah potensi modalnya mendukung atau tidak.
Ragu : Mereka lebih cenderung tidak menerapkan dari pada menanggung resiko kegagalan.
Menolak : Telah mengambil keputusan bahwa lebih banyak kerugiannya dari pada keuntungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Akil M., Evert Y. Hosang dan A. Najamuddin, 2004. Interaksi varietas dan populasi tanaman jagung terhadap produksi biomas dan biji pada lahan kering di Naibonat. Makalah disampaikan pada Seminar Mingguan Balitsereal, Desember, 2004.
BPS , 2002. Propinsi Nusa Tenggara Barat dalam Angka.
BPTP NTB, 2003. Laporan Hasil PRA pada Desa-desa Poor Farmer di Kabupaten Lombok Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2002. Informasi dan peluang agribisnis jagung. Direktorat Serealia Jakarta.
Diwyanto, K dan Handiwirawan, 2004. Peran Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam mendukung usaha agribisnis pola integrasi tanaman – ternak. Dalam Haryanto et al. 2004 (Peny). Sistem Integrasi Tanaman – Ternak. Prosiding Seminar Nasional, Denpasar 20-23 Juli 2004.
PFI3P, 2003a. Panduan perencanaan penelitian dan pengkajian pengembangan inovasi pertanian di lahan marjinal. Badan Litbang Pertanian.
PFI3P,2003c. Konsep awal inovasi teknologi mendukung pengembangan agribisnis pertanian lahanmarjinal. BadanLitbang Pertanian.
Simatupang P., 2003. Daya saing dan efisiensi usahatani jagung hibrida di Indonesia. Dalam Kasryno, E.Pasandaran, dan A.M. Fagi, 2003 (Peny). Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Suprapto, Slamet, Surachman, dan A. Prabowo, 2002. Analisis pendapatan usahatani lada integrasi ternak camping. Dalam Haryanto et al. 2004 (Peny). Sistem Integrasi Tanaman – Ternak. Prosiding Seminar Nasional, Denpasar 20-23 Juli 2004.
Tim Teknis, 2004. Review teknologi petanian untuk lahan kering dan tadah hujan (marjinal). Poor Farmers’ Income Improvement through Innovation Project. Badan Litbang Pertanian.
Wardhani, N.K. dan A. Musofie, 2004. Kajian sistem pertanian organik dalam integrasi ushatani padi – sapi potong. Dalam Haryanto et al. 2004 (Peny). Sistem Integrasi Tanaman – Ternak. Prosiding Seminar Nasional, Denpasar 20-23 Juli 2004.

Tidak ada komentar: