Senin, 28 Juli 2008 8:27:14
Artikel Iptek
Forum Perlindungan Tanaman bagi Negara-negara Asia Diresmikan di Tokyo
Oleh beritaiptek.com
Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) telah mendapat perhatian masyarakat dunia termasuk negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur. Negara ASEAN+3 yang terdiri atas Brunei, Cambodia, Indonesia, Lao PDR, Malaysia, Myanmar, Philipina, Singapura, Thailand, Vietnam, China, Jepang, dan Korea Selatan, akhirnya sepakat membentuk forum yang berhubungan dengan PVT dengan nama East Asia Plant Variety Protection Forum (EAPVT).
Sebenarnya forum ini telah digagas tahun lalu ketika diselenggarakannya Workshop on the Cooperation and Harmonization in Plant Variety Protection in the Asian Region di Tokyo, pada 5 Oktober 2007. Saat itu dilakukan pertukaran pendapat dan pandangan antara perwakilan pemerintah dan organisasi dari negara-negara ASEAN+3 untuk membentuk sistem perlindungan varietas tanaman yang lebih kuat. Pada saat itu telah disepakati pernyataan bersama termasuk kerjasama bidang PVT.
Kemudian pada 2 November 2007 dalam 7th Meeting of the ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry plus 3 (AMAF+3) di Bangkok proposal Jepang tentang pembentukan Forum EAPVT ini diterima yang kemudian melahirkan pertemuan pertama kalinya pada 23 Juli 2008 di Tokyo. Pertemuan perdana Forum EAPVT ini yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah dari negara-negara ASEAN+3 untuk mengukuhkan pembentukan Forum EAPVT.
Ada 3 landasan dasar operasinal forum EAPVT yaitu: (1) kepentingan sistem PVT, (2) kegunaan pengembangan dan harmonisasi sistem PVT, (3) Pembentukan East Asia Plant Variety Protection Forum. Aktivitas yang akan dikerjakan forum dititikberatkan pada: (1) kebijakan kegiatan operasional dan (2) pertukaran informasi PVT antar negara-negara anggota.
Kerangka kerja forum ini meliputi: (1) partisipasi negara anggota forum dan negara organisasi yang diundang, (2) pelaksanaan pertemuan-pertemuan, (3) penyusunan rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan, (4) pelaksanaan kegiatan kesekretariatan.
Forum ini menetapkan lima kerangka kerja yaitu: (1) kerjasama dalam capacity building, (2) kegiatan kerjasama untuk pengembangan dan harmonisasi sistem PVT, (3) kegiatan kerjasama yang berhubungan dengan pengujian, (4) kerjasama penelitian dan pengembangan tehnik identifikasi varietas dengan analisis DNA, dan (5) pembuatan website resmi.
Khusus untuk kerjasama dalam capacity building, ada tiga hal yang dijadikan fokus. Pertama, program pelatihan internasional dengan mengundang trainee dari negara-negara peserta. Enam program akan direncanakan oleh negara China, Jepang dan Korea Selatan. Kedua, workshop, seminar dan pelatihan dengan mengundang petugas bidang PVT dari negara-negara peserta. Tujuh program ini akan disiapkan oleh Indonesia, Myanmar, Philipina, Thailand dan Vietnam. Ketiga, pengiriman tenaga ahli ke negara-negara peserta. Untuk itu, China, Jepang dan Korea akan menyediakan tenaga ahli bidang PVT.
Kerjama teknis meliputi (1) harmonisasi garis besar pengujian termasuk pengujian kebaruan, keunikan, keseragaman dan kestabilan, (2) pengembangan dan penggunaan data base yang berhubungan dengan PVT, (3) pengembangan sistem aplikasi secara elektronik. Pada kerjasama dalam pengujian, negara peserta dengan kepentingan yang sama akan memulai penyelidikan dan pengkajian pemanfaatan data pengujian umum.
Forum ini menyadari perlunya website resmi yang merupakan sarana untuk mencapai tujuan bersama anggota forum. Melalui tukar pikiran dan informasi dalam Forum EAPVT akan mendorong perluasan dan peningkatan hubungan kegiatan kerjasama di negara ASEAN+3 dan mendukung realisasi landasan umum sistem PVT di setiap negara. Akhirnya harmonisasi sistem PVT di negara ASEAN+3 dapat terealisasi.
Dari 13 negara ASEAN+3 yang telah masuk menjadi anggota International Union for Protection New Varieties of Plants (UPOV) yang berkedudukan di Genewa, Swis tercatat baru 5 negara yaitu China (Act of 1978), Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Vietnam (Act of 1991). Pada November 2007 jumlah anggota UPOV seluruhnya tercatat 65 negara.
Pada Juni 2008, Indonesia, Malaysia, Philipina, dan Jepang masih melindungi semua tanamannya. Akan tetapi Korea Selatan telah membuat daftar tanaman yang dilindungi sebanyak 223 varietas, sedangkan China 152 varietas, Thailand 33 varietas, dan Vietnam 27 varietas.
Melalui forum ini, Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan diri menjadi anggota UPOV. Dengan menjadi anggota forum ini, di dalam negeri sendiri diharapkan para peneliti dan breeder akan terdorong untuk meningkatkan kerjasama dalam pengembangan varietas unggul tanaman Indonesia. Para petani dapat meningkatkan mutu dan kwantitas produksinya dengan menggunakan varietas bibit unggul, di pihak lain breeder dapat memperoleh intensif melalui hak atas kekayaan intelektualnya.
Para breeder akan diberikan hak PVT sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemberian sertifikat hak PVT dilakukan apabila suatu varietas telah memenuhi persyaratan baru, unik, seragam dan stabil berdasarkan hasil pemeriksaan substantif. Pemerintah Indonesia melaksanakan pengembangan penerbitan sertifikasi hak PVT untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat pertanian secara nasional maupun internasional.
Sumber: Pudjiatmoko
Sabtu, 28 Juni 2008 12:29:29
Artikel Iptek
Penyimpanan Darah Tali Pusat: Prospek Kebutuhan Transplantasi vs Trend Mimpi Bioteknologi (II)
Oleh Sarah Wardhani
Transplantasi DTP Alogenik dari anggota keluarga/kerabat
Transplantasi DTP allogenik dari donor kerabat dekat/keluarga dengan HLA yang sesuai efektif untuk terapi pasien kelainan darah [12]. Donor DTP Alogenik biasanya memiliki kriteria kualiti kontrol yang cukup ketat. Namun, pada DTP alogenik dari anggota keluarga/kerabat, kriteria ini lebih ringan. Contohnya, ditemukannya maternal hepatitis pada pendonor dapat mendiskualifikasi donasi DTP dari pendonor yang tidak ada hubungan keluarga/kerabat dekat. Tetapi tidak terjadi pada DTP alogenik dari anggota keluarga, jika diketahui bahwa ibu dari pendonor memberikan hasil negatif pada test infeksi hepatitis aktif [13]. Di Amerika, NIH telah mendirikan tempat penyimpanan DTP milik pemerintah untuk keluarga. Terutama, yang anak-anaknya menderita hemoglobinophati. Tempat penyimpanan ini, The Children's Hospital Oakland Sibling Donor Cord Blood Program, adalah unit penyimpanan DTP publik terbesar untuk kegunaan medis keluarga-keluarga yang membutuhkan. Mereka mengumpulkan DTP dari mana saja seluruh USA untuk kepentingan indikasi medis yang sesuai. Mereka menyimpan lebih dari 3000 unit DTP guna kepentingan mereka yang membutuhkan transplantasi (49% untuk kondisi malignant, 28% penyakit sickle cell, 6% thalassemia, 17% nonmalignant lain). Pada tahun 2006, bank DTP ini telah memfasilitasi pemberian DTP untuk 65 transplantasi alogenik dan singenik, 23 pasien dengan indikasi MDS/leukemia akut, 21 pasien dengan indikasi thalassemia, 12 pasien dengan indikasi penyakit sickle cell, dan 9 pasien dengan indikasi nonmalignant lainnya [14], [15].
Proses pemotongan tali pusat segera setelah bayi dilahirkan
Tranplantasi DTP Autologous
Tersedia beberapa data yang terkait dengan hasil dari transplantasi menggunakan DTP milik pribadi ini. Kasus pertama, dipublikasikan tahun 1999, menjelaskan anak berusia 14 bulan menderita neuroblastoma, yang telah menyimpan DTP saat lahir karena saudara kandung laki-lakinya menderita akut myelogeneous leukemia (AML) [16]. Setelah menjalani transplantasi DTP autologous, ia mampu bertahan hidup dan bebas dari penyakit selama 14 bulan setelah transplantasi. Fruchtman dkk [17] mempublikasikan juga transplantasi DTP autologous yang sukses untuk kasus Anemia Aplastic berat yang disertai kegagalan hati dan transplantasi hati pada dua pasien dengan Anemia Aplastic idiopathic berat, di usia 5 dan 9, seperti diberitakan 2007 BMT Tandem Meetings [18]. Kedua pasien tersebut mampu hidup dengan jumlah darah yang normal 8 dan 3 bulan setelah transplantasi. Hayani dkk [19] belum lama juga mempublikasikan kasus pertama transplantasi DTP digunakan untuk pengobatan leukemia akut. Anak berusia 3 tahun dengan acute lymphoblastic leukemia (ALL) dan isolasi system saraf pusat (isolated CNS relapse) menjalani transplantasi autologous DTP menggunakan cryopreserved sel DTP yang disimpan saat kelahirannya. Pasien ini mampu bertahan hidup dan bebas dari penyakit 24 bulan setelah transplantasi. Sementara itu, penggunaan autologous DTP untuk penyakit autoimmune masih dalam tahap investigasi awal. Haller dkk [20] mengobati 7 anak yang menderita type I diabetes dengan infusi DTP autologous; anak-anak ini memiliki kebutuhan insulin yang rendah dan hemoglobin A1c daripada anak-anak lain yang juga mengalami diabetes berat tanpa infuse DTP autologous. The Cord Blood Registry memberitakan bahwa 11 unit DTP personal telah digunakan untuk transplantasi dengan indikasi penyakit anemia aplastic, cerebral palsy, traumatic brain injury, dan immune deficiency, namun tidak ada kesuksesan data yang dipublikasikan mengenai transplantasi-transplantasi menggunakan donor personal DTP yang dilakukan tersebut [13].
Karena segelintir data tersebut diatas, ada kecenderungan para orang tua sehat, dengan tidak ada riwayat penyakit pada saudara maupun kerabat dekat, berkeinginan ingin menyimpan DTP anak-anak mereka. Tujuan utamanya ialah jikalau anak mereka sewaktu-waktu membutuhkan transplantasi DTP autologous, mereka tidak perlu mencari donor dan beresiko terhadap ketidakcocokan HLA. Padahal tidaklah demikian. Transplantasi DTP autologous efektif untuk kasus-kasus tertentu seperti: limfoma, myeloma, neuroblastoma, dan pada kasus-kasus kelainan sumsum tulang atau jika transplantasi HSC memang benar-benar dibutuhkan dan umumnya terjadi pada mereka dengan riwayat keluarga yang juga menderita penyakit-penyakit tersebut. Ditambah lagi, penyimpanan DTP milik pribadi bukan merupakan pilihan yang optimal untuk kasus leukemia dan penyakit kelainan genetik. Pasien dengan kegagalan sumsum tulang genetik dan sindrom immunodefisiensi, penyakit kelainan metabolic dan hemoglobinopathies yang membutuhkan transplantasi alogenik dari donor, penyimpanan autologous DTP tidak ada gunanya [27].
Trend Bioteknologi
Adalah fenomena yang umum dimana semua yang dilakukan oleh para selebritis, dikampanyekan para public figur dan bintang film menjadi sebuah hal yang terkesan “keren” dan “gaya”. Masyarakat yang mampu ataupun tidak mampu dengan upayanya yang setengah memaksa dalam keterbatasan ilmu dan pemahaman akan terbawa arus trend-trend tersebut.
Menjamurnya trend bioteknologi stem cell dan transplantasi telah mengadopsi informasi-informasi yang sifatnya superficial. Seakan-akan segala macam penyakit dapat disembuhkan dengan teknologi canggih bernama stem cell yang menelan biaya tidak kurang dari 700 juta rupiah sekali transplantasi. Penyimpanan DTP pribadi sebagai “Asuransi Kesehatan Biologis“ adalah salah satu isu yang semakin banyak dilirik oleh banyak artis dan bintang film saat ini. Bintang-bintang top papan atas di Amerika, Eropa, telah melakukannya dan belum lama aktris wanita China telah menyatakan ketertarikan untuk menyimpan DTP anaknya di sebuah perusahaan penyimpanan swasta. Indonesia, sebagai negara yang terbiasa dengan pola “me-too trend”, di tahun 2006, sekitar 100 orang penduduknya telah menaruh DTP anak mereka di Singapore [21]. Beberapa diantaranya adalah public figur dan pengusaha.
Memang disinyalir bahwa kegunaan potensial DTP di luar dari bidang onkologi dimungkinkan guna penggunaan transplantasi sel induk nonhematopoietic dari mesenchymal stem cells DTP, untuk berdiferensiasi menjadi jaringan alternatif seperti endothel, tulang, cartilage, saraf, sel jantung, atau kemampuan mereka mengekspresikan gen yang ditransfeksi. Riset preklinis menggunakan hewan mensinyalir bahwa DTP mononuclear cells mungkin dapat digunakan pada terapi penyakit neurologi (stroke, spinal cord, brain trauma, amyotropic lateral sclerosis), penyakit jantung (infark myocard, ischemia, cardiac injury, dan valve repair), serta perbaikan perbaikan jaringan [22], [23], [24], [25]. Namun riset-riset tersebut pun baru saja dimulai. Apakah DTP dapat benar-benar berguna menyembuhkan berbagai macam penyakit ini masih dalam wilayah yang sangat abu-abu. Kegunaan penyimpanan DTP secara personal pada perusahaan swasta untuk pengobatan nonhematopoietic dan penyakit-penyakit lain pun tidak diketahui dengan jelas [13]. Di bulan Maret 2004, the European Group on Ethics in Science and New Technologies memberikan pernyataan mereka: “Legitimasi penyimpanan DTP secara komersil untuk penggunaan transplantasi DTP autologous harus dipertanyakan karena mereka menjual jasa yang penggunaan terapeutiknya tidak real. Mereka menjanjikan lebih dari apa yang dapat mereka lakukan. Aktivitas perusahaan-perusahaan swasta ini dapat secara serius
mendapatkan kritik.”[26]
Berapa Biayanya?
Biaya penyimpanan DTP pribadi relatif ekonomis bagi segelintir golongan. Di Amerika, tahun 2007 biaya penyimpanan DTP milik pribadi sekitar US$2.000 untuk ekstraksi dan sekitar US$125 per tahun. Di singapura biaya penyimpanannya sekitar S$ 5.000 to S$ 10.000 per tahun. Di Indonesia, ekstraksi DTP membutuhkan biaya sekitar 10 juta rupiah dan dilakukan segera setelah proses persalinan. Sedangkan penyimpanannya sekitar 1.5 juta rupiah per tahun. Jika ingin menyimpan di Singapura, biaya penyimpanannya meliputi kit pengambilan darah tali pusat, biaya pengambilan, pemrosesan dan test laboratorium serta pengiriman dari Jakarta ke singapura sekitar S$2.000, dan pembayaran tahunannya sekitar S$250. Bukan biaya yang mahal bagi kalangan masyarakat menengah ke atas.
Penyimpanan DTP milik pribadi dibutuhkan oleh para orang tua yang akan melahirkan anak dimana terdapat riwayat saudara kandung anak tersebut atau ayah dan ibunya menderita penyakit yang mungkin dapat diterapi dengan teknik transplantasi DTP. Namun bagi para orang tua dengan bayi dan anggota keluarga yang sehat, perlu di garisbawahi bahwasanya unit DTP dirilis guna kepentingan transplantasi masyarakat/public yang membutuhkan sekurang-kurangnya 100 kali lebih besar daripada kepentingan penyimpanan unit DTP pada perusahaan swasta.
Sementara yang terjadi saat ini ialah jumlah unit DTP milik pribadi disimpan di penyimpanan swasta 3 kali lebih besar daripada jumlah unit DTP yang tersedia di tempat penyimpanan milik pemerintah. DTP sangat bermanfaat untuk sumber di komunitas banyak, bukan untuk pribadi. Selayaknya para orang tua memiliki pemahaman ini sebelum membuat keputusan dan selayaknya berkonsultasi dengan tenaga medis dan klinik yang berpengalaman [13].
Kenali Informasi Sebelum Memutuskan
Bisnis penyimpanan DTP pribadi telah sangat menjamur, terutama di USA, Australia, Eropa, Singapore, bahkan telah mulai merambah Indonesia dengan keterbatasan arus informasi yang simpang siur. Telah berdiri sejumlah perusahaan swasta penyimpanan DTP di seluruh dunia yang memberikan asuransi dan jaminan penyimpanan DTP milik pribadi. Alasan dari menjamurnya jenis-jenis perusahaan penyimpanan swasta ini ialah: (1) Ketertarikan orang tua dalam memberikan anak-anak mereka “Asuransi Kesehatan Biologis” dalam kasus penyakit yang berkembang di masa yang akan datang yang dimungkinkan dapat diobati dengan transplantasi DTP autologous, dan (2) Teknik marketing yang agresif oleh perusahaan swasta yang menawarkan jasa penyimpanan DTP.
Dalam jurnalnya yang terbit Mei 2008 [13] baru-baru ini, American Society of Blood & Marrow Transplantation (ASBMT) memberikan beberapa informasi yang penting diketahui oleh para orang tua sebelum memutuskan akan menggunakan "Asuransi Kesehatan" jenis ini.
1. Probabilitas kebutuhan klinis. Estimasi atas manfaat penyimpanan CB untuk diri sendiri pada bayi yang baru lahir dari keluarga yang tidak ada riwayat penyakit aneh menggunakan probabilitas perkembangan kanker, kebutuhan akan manusia terhadap transplantasi, dan kurangnya ketersediaan donor transplantasi alogenik yang sesuai dengan system imun, didapatkan hasil perkiraan penggunaan penyimpanan unit DTP secara personal adalah 1:2500 (0.04%) sampai 1:200,000 (0.0005%) [27], [28], [29], [30], [31]. Transplantasi DTP autolog dapat sangat bermanfaat untuk pasien dengan penyakit limfoma, myeloma, neuroblastoma, dan pada kasus-kasus kelainan sumsum tulang atau jika transplantasi HSC memang benar-benar dibutuhkan. Namun, pasien dengan kegagalan sumsum tulang genetik dan sindrom immunodefisiensi, penyakit kelainan metabolic dan hemoglobinopathies yang membutuhkan transplantasi
alogenik dari donor, penyimpanan autologous DTP tidak ada gunanya [27].
2. Penyakit laten. Klaim kemampuan pendeteksian penyakit yang dapat terjadi pada bayi di masa mendatang menjadi salah satu iming-iming penyimpanan DTP milik pribadi. Salah satunya ialah pendeteksian penyakit abnormalitas sel seperti leukemia. Klaim ini tidak dapat digeneralisasi karena sel tersebut bisa terdeteksi, bisa juga tidak. Pendeteksian penyakit laten ini pada dasarnya dilakukan oleh pihak penerima donor DTP untuk memeriksa kelayakan DTP tersebut ketika digunakan oleh orang lain. Seperti diberitakan dalam jurnal (Rowley et al) [32]. Investigator telah menemukan bahwa sel darah leukemia ditemukan dalam darah neonatal anak-anak yang kemudian hari didiagnosa menderita leukemia. Tiga anak berusia 2, 5, dan 6 tahun dengan lymphoblastic leukemia akut dan translokasi kromosom t(4;11), memiliki Guthrie cards (filter yang mengandung darah bayi baru lahir) mereka masing-masing dan ditemukan memiliki t(4;11) sel abnormal semenjak lahir. Untuk alasan ini, pihak penyimpan DTP milik publik akhirnya membuang DTP unit mereka karena tidak layak lagi dipergunakan.
3. Efek Graft-versus-leukemia (GvL). Dari data publikasi yang ada, melihat tingginya angka relaps (high relapse rates) pasca transplantasi autologous dan transplantasi singenik serta mempertimbangkan manfaat efek GvL dari transplantasi alogenik, mengindikasikan bahwa DTP milik pribadi bukanlah merupakan sumber sel yang optimal untuk pasien leukemia (kanker darah) yang membutuhkan transplantasi.
4. Kualitas dan Kelayakan. Kelayakan penyimpanan DTP jangka panjang sangat perlu diperhatikan. Untuk penyimpanan DTP milik pribadi yang disimpan semenjak lahir bisa jadi tidak dipergunakan dalam jangka waktu panjang. Penyimpanan DTP telah ditemukan layak disimpan selama 15 tahun setelah cryopreservation, tetapi tidak ada data yang dapat menjamin baiknya sistem penyimpanan diluar jangka waktu tersebut. [32], [33].
Apa Kata Dunia?
Dengan marak dan menjamurnya "trend bioteknologi" penyimpanan DTP secara personal di seluruh dunia, ASBMT, The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), dan the American Academy of Pediatrics (AAP) merasa perlu menegaskan pernyataannya masing-masing di jurnal yang beredar awal tahun ini [13], [34], [35]. Berdasarkan data-data akurat riset stem cell & transplantasi di dunia, telaah marketing pasar, dan berbagai konflik interest, pro dan kontra berbagai pihak, ketiga asosiasi kesehatan Amerika ini sepakat untuk tidak merekomendasikan orang tua untuk menyimpan DTP sebagai “Asuransi Kesehatan Biologis” karena probabilitas digunakannya DTP untuk kepentingan personal sangat-sangat rendah yaitu 0.04% (1:2500) sampai 0.0005% (1:200,000) [27], [28], [29], [30], [31] sehingga penyimpanan DTP untuk kegunaan pribadi, tidak direkomendasikan.
Lebih lanjut ketiga asosiasi tersebut menyatakan bahwa penyimpanan DTP milik pribadi atau keluarga hanya direkomendasikan untuk dua alasan: (1) Jika bayi yang akan disimpan DTPnya memiliki saudara kandung dengan riwayat penyakit yang mungkin dapat sukses diobati dengan transplantasi HSC, dan (2) Jika bayi yang akan disimpan DTPnya memiliki orang tua (ayah, ibu, atau keduanya) yang dapat secara sukses diobati dengan transplantasi HSC, dimana terdapat kesesuaian antigen-HLA pada kedua orang tuanya (jika hanya ayah atau ibunya saja yang terkena). Organisasi-
organisasi dunia ini juga merekomendasikan para orang tua untuk secara langsung mendonorkan, bukan menyimpan DTP anak mereka, pada keluarga/kerabat terdekat dengan riwayat penyakit atau kelainan yang mungkin dapat disembuhkan dengan transplantasi DTP. Pendonasian DTP ini tidak dikenakan biaya sedikit pun [13].
ASBMT telah melakukan survey terhadap perusahaan penyimpan DTP swasta di USA. Susan Stewart dari komite mereka melakukan kontrak terhadap 17 perusahaan penyimpan DTP swasta dan menggali informasi-informasi dari perusahaan-perusahaan swasta yang tersebar di USA. Hasilnya, mereka secara serius prihatin terhadap taktik marketing perusahaan-perusahaan swasta penyimpanan personal DTP yang melakukan pendekatan terhadap para orang tua yang dengan keterbatasan informasinya dan pemahamannya terhadap DTP lalu dengan mudahnya mengambil keputusan. Taktik ini banyak menggunakan klaim-klaim tentang kehidupan anak yang baru lahir kelak, kecanggihan alat penyimpanan DTP mereka, dan kewajiban serta bukti kasih sayang orang tua terhadap kesehatan anak-anaknya di masa yang akan datang.
The European Union's menyatakan, "Kemungkinan seseorang menggunakan DTP stem cell dirinya sendiri untuk pengobatan regenerative saat ini seutuhnya adalah hipotesa belaka. Riset tersebut saat ini pada fase yang sangat teramat muda belia. Legitimasi perusahaan komersial penyimpanan DTP secara personal harus dipertanyakan karena mereka menjual servis yang mempresentasikan penggunaan pilihan terapi yang tidak real" [36]. Di Italia penjualan koleksi dan penyimpanan personal DTP adalah illegal sejak tahun 2002. The Royal College of Obstetricians and Gynaecologists membuat pernyataan "Penyimpanan DTP secara komersial tidak dapat direkomendasikan saat ini, karena tidak adanya riset dasar yang mencukupi..." [37]. Sementara itu di Perancis, The French National Consultative Ethics Committee’s menyatakan ".....rekomendasi untuk para orang tua, mereka seharusnya melakukan pendonoran DTP untuk tujuan transplantasi allogenik bagi mereka yang membutuhkan, daripada mendaftar untuk menyimpan di perusahaan swasta guna kepentingan pribadi dimana kegunaan potensi therapeuticnya tidak valid/autentik."[38].
Australia berbicara dalam medical jurnal Australia, May 2008 [39], "Berbeda dengan tujuan pengumpulan donor DTP oleh penyimpanan publik guna kepentingan yang membutuhkan, justifikasi jaminan asuransi kesehatan yang diklaim oleh perusahaan swasta adalah sangat kecil atau tidak ada, tidak memberikan manfaat bagi komunitas, juga manfaat yang sangat kecil bagi para orang tua (hanya reassurance dan ketidakhawatiran menyesal kalau-kalau si anak membutuhkan transplantasi yang probabilitasnya juga sangat kecil)".
Di Jepang, pihak kementrian kesehatan dan kesejahteraannya memiliki kebijaksanaannya sendiri dimana mereka menyediakan sejumlah dana guna penstabilan jaringan penyimpanan DTP milik pemerintah untuk kepentingan transplantasi bagi masyarakat yang membutuhkan. The Japan Cord Blood Bank Network itu sendiri telah memulai aktivitasnya sejak tahun 1999. Semua unit secara financial disupport oleh pemerintah. 20.000 unit DTP pada 5 tahun mendatang direncanakan terkumpul guna kepentingan public [40].
Lalu apakah masyarakat Indonesia golongan kelas menengah ke atas dalam kegamangan krisis BBM dalam negeri serta maraknya demo juga akan mengikuti trend penyimpanan DTP personal ini? Terlepas dari apa maksud pemerintah meresmikan perusahaan swasta guna penyimpanan DTP secara personal di Indonesia saat krisis melanda negeri ini, sepertinya kebijakan pemerintah dalam mencerdaskan para orang tua kalangan publik figur, artis, pemilik modal, dan masyarakat umum, justru yang wajib di tekankan. Kearifan pemerintah dalam menentukan prioritas alokasi dana riset untuk penyakit-penyakit yang sifatnya lebih luas serta nyata dampaknya bagi rakyat, perlu lebih ditingkatkan. Sehingga terbuka kemungkinanbahwa ratusan juta aliran dana untuk penyimpanan DTP para konglomerat tidak mengalir ke satu kantung perusahaan swasta, namun mengalir ke kantung-kantung rakyat, para pengusaha, pedagang kecil,
rumah sakit dan puskesmas kecil di wilayah terpencil kepulauan Indonesia tercinta.
Daftar Pustaka
1. Gluckman E, Broxmeyer HE, Auerbach AD et al. Hematopoietic reconstitution in a patient with Fanconi’s anemia by means of umbilical cord blood from an HLA-identical sibling. New Engl J Med 1989; 321: 1174–1178.
2. Brunstein CG, Setubal DC, Wagner JE. Expanding the role of umbilical cord blood transplantation. Br J Haematol. 2007;137:20–35.
3. Gluckman E, Rocha V. Donor selection for unrelated cord blood transplants. Curr Opin Immunol. 2006;18:565–570.
4. Vogelsang, G. B., Lee, L. & Bensen-Kennedy, D. M. Pathogenesis and treatment of graft-versus-host disease after bone marrow transplant. Annu. Rev. Med. 54, 29-52 (2003).
5. Barker JN, Weisdorf DJ, DeFor TE, et al.. Transplantation of two partially HLA-matched umbilical cord blood units to enhance engraftment in adults with hematologic malignancy. Blood. 2005;105:1343–1347.
6. Ballen KK, Spitzer TR, Yeap BY, et al.. Double unrelated reduced-intensity umbilical cord blood transplantation in adults. Biol Blood Marrow Transplant. 2007;13:82–89.
7. Eapen M. Outcomes of transplantation of unrelated donor umbilical cord blood and bone marrow in children with acute leukemia: a comparison study. Lancet. 2007;369:1947–1954.
8. P. Rubinstein, C. Carrier, A. Scaradavou, J. Kurtzberg, J. Adamson, A.R. Migliaccio, R.L. Berkowitz, M. Cabbad, N.L. Dobrila, P.E. Taylor, R.E. Rosenfield and C.E. Stevens, Outcomes among 562 recipients of placental-blood transplants from unrelated donors, N. Engl. J. Med. 339 (1998), pp. 1565–1577.
9. Gluckman E, V. Rocha, A. Boyer-Chammard, F. Locatelli, W. Arcese, R. Pasquini, J. Ortega, G. Souillet, E. Ferreira, J.P. Laporte, M. Fernandez and C. Chastang, Outcome of cord-blood transplantation from related and unrelated donors. Eurocord Transplant Group and the European Blood and Marrow Transplantation Group, N. Engl. J. Med. 337 (1997), pp. 373–381.
10. Barker JN, Weisdorf DJ, DeFor TE, Blazar BR, Miller JS, Wagner JE. Rapid and complete donor chimerism in adult recipients of unrelated donor umbilical cord blood transplantation after reduced-intensity conditioning. Blood. 2003;102: 1915-1919.
11. Beam D, Poe MD, Provenzale JM, et al. Outcomes of unrelated cord blood transplantation for X-linked adrenoleukodystrophy. Biol Blood Marrow Transplant. 2007;13:665-674.
12. Locatelli F, Rocha V, Reed W, et al. Related umbilical cord blood transplantation in patients with thalassemia and sickle cell disease. Blood. 2003;101:2137-2143.
13. K . Ballen , J . Barker , S . Stewart , M . Greene , T . Lane. Collection and Preservation of Cord Blood for Personal Use. Biology of Blood and Marrow Transplantation , Volume 14 , Issue 3 , Pages 356 - 363
14. Walters MC, Quirolo L, Edwards S, et al. Directed donor CB transplantation for hematologic disorders. Biol Blood Marrow Transplant. 2007;13(Suppl 2):79a.
15. Walters MC, Quirolo L, Trachtenberg ET, et al. Sibling donor CB transplantation for thalassemia major: experience of the Sibling Donor Cord Blood Program. Ann N Y Acad Sci. 2005;1054: 206-213.
16. Ferreria E, Pasternak J, Bacal N, et al.. Autologous cord blood transplantation. Bone Marrow Transplant. 1999;24:1041.
17. Fruchtman SM, Hurlet A, Dracker R, et al. The successful treatment of severe aplastic anemia with autologous cord blood transplantation. Biol Blood Marrow Transplant. 2004;10: 741-742.
18. Rosenthal J, Bolotin E, Pawlowska A, et al. Hematopoietic stem cell transplantation with autologous cord blood units in two patients with severe aplastic anemia: time for reassessment? Biol Blood Marrow Transplant. 2007;13(Suppl 2):100a.
19. Hayani A, Lampeter E, Viswanatha D, et al. First report of autologous cord blood transplantation in the treatment of a child with leukemia. Pediatrics. 2007;119:296-300.
20. Viener HL, Brusko T, Wasserfall C, et al. Changes in regulatory T cells following autologous umbilical cord blood transfusion in children with type I diabetes. J Am Diabetes Assoc. 2007;0314 (abstract).
21.http://kalbefarma.blogspot.com/2006/12/cord-blood-storage-now-available-in.html
22. Newcomb JD, Sanberg PR, Klasko SK, Willing AF. Umbilical cord blood research: current and future perspectives. Cell Transplant. 2007;16:151-158.
23. Goodwin HS, Bicknese AR, Chien SN, Bogucki BD, Quinn CO, Wall DA. Multilineage differentiation activity by cells isolated from umbilical cord blood: expression of bone, fat, and neural markers. Biol Blood Marrow Transplant. 2001;7:581-588.
24. Korbling M, Robinson S, Estrov Z, Champlin R, Shpall E. Umbilical cord blood-derived cells for tissue repair. Cytotherapy. 2005;7:258-261.
25. Goldberg JL, Laughlin MJ. Umbilical cord blood hematopoeitic stemcells and therapeutic angiogenesis. Cytotherapy. 2007;9:4-13.
26. European Group on Ethics in Science and New Technologies. Ethical aspects of umbilical cord blood banking. Available at:http://europa.eu.int/comm/european_group_ethics/docs/avis19_en.pdf. Retrieved September 29, 2005
27. Johnson FL. Placental blood transplantation and autologous banking-caveat emptor. J Pediatr Heme Oncol. 1997;19:183–186.
28. Annas GJ. Waste and longing―the legal status of placental blood banking. N Engl J Med. 1999;34:1521–1524.
29. Ecker JL, Greene MF. The case against private umbilical cord blood banking. Obstet Gynecol. 2005;105:1–2.
30. Greene MF, Cefalo RC. Obstetricians' perspectives on umbilical cord blood storage. Cancer Res Ther Control. 1999;8:341–343.
31. Burgio GR, Gluckman E, Locatelli F, et al.. Ethical reappraisal of 15 years of cord blood transplantation. Lancet. 2003;361:250–252.
32. Koylka P, Ivanyi P, Bruer-Vriesendorp BS. Preservation of immunological and colony-forming capacities of long-term (15 years) cryopreserved cord blood cells. Transplantation. 1998;65: 1275-1278.
33. Broxmeyer HE, Srour EF, Hangoc G, et al. High-efficiency recovery of functional hematopoietic progenitor and stem cells from human cord blood cryopreserved for 15 years. Proc. Natl Acad USA. 2003;100:645-650.
34. American Academy of Pediatrics Section on Hematology/Oncology: Cord Blood Banking for Potential Future Transplantation. Pediatrics. 2007;119:165–170.
35. American College of Obstetricians and Gynecologists . Routine storage of umbilical cord blood for potential future transplantation. ACOG Committee Opin. 1997;183:1–3.
36. European Group on Ethics in Science and New Technologies. Ethical aspects of umbilical cord blood banking. http://europa.eu.int/comm/european_group_ethics December 16, 2005.
37. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists Scientific Advisory Committee. Umbilical cord blood banking. Opinion paper 2. Available at: http://www.rcog.org.uk/index.asp?PageID_545. Retrieved September 29, 2005
38. French National Consultative Ethics Committee for Health and Life Sciences. Umbilical cord blood banks for autologous use and or for research. Opinion #74. Available at: http://www.ccneethique.fr/english/avis/a_074p3.htm. Retrieved September 29, 2005.
39. Samuel GN, Kerridge IH, O'Brien TA. Umbilical cord blood banking: public good or private benefit? Med J Aust. 2008 May 5;188(9):533-5.
40. Kato S, Nishihira H, Hara H, Kato K, Takahashi T, Sato N, Kodera Y, Saito H, Sato H, Takanashi M.. Cord blood transplantation and cord blood bank in Japan. Bone Marrow Transplant. 2000 May;25 Suppl 2:S68-70.
Sarah Wardhani, mahasiswa program master di Graduate School of Pharmaceutical Sciences, Department of Pharmacology, Tohoku University, Japan. Email: A6YM1082@cs.he.tohoku.ac.jp
Sabtu, 24 Mei 2008 09:41:10
Artikel Iptek
Lonjakan Harga Minyak, Momentum Diversifikasi Energi
Oleh Rohadi Awaludin
Harga minyak terus membubung tinggi dan melahirkan rekor-rekor baru harga minyak. Ketika lonjakan harga minyak terjadi pada tahun 1974, 1979 dan 1990, Indonesia sebagai negara pengekspor minyak ikut kebagian rezeki nomplok dengan kenaikan harga tersebut. Namun lonjakan kali ini "ceritanya" lain. Gejolak harga minyak ini dapat menggoyahkan pilar pilar perekonomian nasional. Saat ini Indonesia hanya menghasilkan minyak kurang dari 1 juta barrel per hari. Nilai ini turun drastis dari 1,4 juta barrel per hari pada tahun 1999, sejak dimulainya upaya restrukturisasi perminyakan nasional. Sementara itu, jumlah kebutuhan minyak nasional sekitar 1,2 juta barrel per hari. Kondisi ini diperparah dengan pola pengelolaan sumber energi nasional.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa lebih dari separo kebutuhan energi Indonesia dipenuhi dari minyak bumi. Dari keseluruhan jumlah konsumsi energi yang mencapai 700 juta SBM (setara barel minyak) per tahun, minyak bumi memasok sebesar 57% (400 juta barel), disusul gas bumi 25%, dan batu bara 13%, sedangkan sisanya 5% dipenuhi dari tenaga air, panas bumi, biomassa, surya dan sebagainya. Kita memiliki cadangan total minyak bumi, yang meliputi cadangan terbukti dan cadangan potensial, sekitar 10 milyar barel.
Jika tingkat produksi minyak rata-rata sebesar 400 juta barel per tahun, maka cadangan minyak akan kering dalam 25 tahun. Setelah itu, kita harus mengimpor seluruh kebutuhan minyak kita. Jika komposisi pasokan energi masih belum berubah secara signifikan dari kondisi saat ini, maka dapat dipastikan bahwa kondisi ekonomi Indonesia akan "terjun bebas" karena energi merupakan penggerak utama roda perekonomian. Dua puluh lima tahun bukanlah waktu yang panjang. Oleh karenanya, upaya perubahan komposisi pasokan energi kita harus diubah mulai saat ini, tidak boleh ditunda-tunda lagi. Lonjakan harga minyak kali ini merupakan momentum besar untuk melakukan upaya diversifikasi energi.
Pilihan sumber energi pengganti minyak yang terdekat adalah gas alam. Dari sisi penggunaannya, gas alam memiliki banyak kemiripan dengan minyak bumi sehingga pengalihan dari penggunaan minyak ke gas alam relatif mudah dilakukan dibandingkan dengan energi lain. Tingkat penggunaan sumber energi ini saat ini sekitar 170 juta SBM, atau 25 % dari jumlah pasokan energi per tahun. Jumlah total cadangan gas bumi Indonesia, baik cadangan terbukti maupun potensial, yang telah diketahui sekitar 390 trilyun kaki kubik atau sekitar 65 milyar SBM. Jadi, jika seluruh energi saat ini diganti dengan gas bumi, maka cadangan gas alam kita cukup untuk sekitar 90 tahun apabila tingkat penggunaan energi sebesar saat ini, 700 SBM per tahun.
Pilihan sumber energi berikutnya adalah batu bara. Indonesia memiliki cadangan batu bara dalam jumlah yang melimpah. Jumlah konsumsi batu bara saat ini baru sekitar 90 juta SBM per tahun. Namun ada tantangan dalam pemanfaatan batu bara karena sebagian besar batubara Indonesia merupakan batu bara muda dengan kandungan kalori yang rendah. Selain itu, batu bara kita secara umum mengandung sulfur dalam jumlah yang relatif tinggi sehingga memiliki dampak lingkungan yang tidak dapat diabaikan, misalnya berupa terjadinya hujan asam.
Selain gas dan batu bara, energi nuklir merupakan sumber energi potensial yang sampai saat ini belum dimanfaatkan di Indonesia. Negeri ini merupakan satu-satunya negara dengan penduduk besar, di atas 200 juta, yang belum memanfaatkan energi ini. Energi nuklir telah digunakan di banyak negara dan rekam jejak penggunaan energi ini pun telah tergelar di hadapan kita.
Jepang, misalnya, telah memiliki sejarah pemanfaatan energi yang tidak melepaskan gas karbon dioksida ini sejak tahun 1966. Saat ini Negeri Sakura ini memiliki 52 buah reaktor nuklir yang sedang beroperasi dengan total kapasitas daya sekitar 46 000 MW, lebih dari sepertiga total kapasitas daya listrik yang dimiliki. Kita tinggal menghitung secara rasional keuntungan dan tantangan opsi nuklir ini dibandingkan dengan sumber energi lain.
Pilihan ideal bagi Indonesia sebenarnya terletak pada energi baru dan terbarukan (EBT). Indonesia memiliki potensi besar sumber energi jenis ini seperti panas bumi, biomassa, mikrohidro, angin, surya, gambut, pasang surut dan gelombang. Di tinjau dari dampaknya terhadap lingkungan, energi ini termasuk energi yang ramah lingkungan. Sebagai daerah vulkanik, wilayah lndonesia termasuk negara kaya akan sumber energi panas bumi. Jalur gunung api membentang dari ujung Pulau Sumatra Sepanjang Pulau Jawa-Bali, NTT, NTB, Halmahera dan Pulau Sulawesi.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Listrik dan Pengembangan Energi, Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 20 ribu MW, lebih dari dua pertiga total kapasitas daya terpasang listrik PLN saat ini yang sekitar 28 ribu MW. Dari total potensi tersebut, sektar 8 ribu MW ada di pulau Jawa, 5 ribu MW di pulau sumatera dan sisanya di pulau-pulau lain. Energi dari perut bumi ini baru dimanfaatkan sebesar 887 MW atau 4,4 % dari seluruh potensi yang ada.
Sebagai negara tropis, Indonesia kaya akan biomassa. Kita memiliki potensi biomassa sebesar 50 000 MW yang tersebar di seluruh wilayah negeri ini. Dari jumlah sebesar ini, baru dimanfaatkan sebesar 313 MW, atau sebesar 0,62 % dari potensi yang ada. Sementara itu, energi baru dan terbarukan yang lain dapat dikatakan belum disentuh.
Dari Mana Memulainya
Semua pihak kelihatannya akan menyetujui upaya diversifikasi sumber energi. Namun, pertanyaan yang sulit dijawab adalah siapa pelopor dan dari mana mulainya. Pihak industri, utamanya swasta, merupakan pengguna energi dalam jumlah besar. Sekitar 40% energi yang dihasilkan digunakan oleh industri. Sisanya digunakan untuk transportasi, rumah tangga dan sebagainya. Industri menentukan pilihan jenis energi berdasarkan mekanisme pasar secara rasional.
Realitas saat ini menunjukkan bahwa minyak masih merupakan pilihan paling menguntungkan. Lonjakan harga minyak dapat menurunkan tingkat daya saing minyak terhadap energi lain. Kendati demikian, lonjakan kali ini belum cukup untuk mengubah komposisi pilihan sumber energi secara signifikan.
Perubahan pilihan energi tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, karena diperlukan perubahan fasilitas dengan investasi tidak kecil. Perubahan ini, tentunya, disertai resiko yang tidak kecil. Oleh karena itu, upaya diversifikasi sumber energi ini tidak dapat diserahkan kepada pihak swasta sepenuhnya. Untuk memulai upaya diversifikasi sumber energi, pemerintah perlu mengambil inisiatif awal. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk memacu upaya ini.
Pertama, menciptakan suasana yang mendukung bagi pengalihan sumber energi dari minyak. Pemerintah dapat memberikan insentif, misalnya berupa keringanan pajak bagi industri pengguna energi selain minyak.. Tingkat pengurangan pajak ini tentunya disesuaikan dengan jenis sumber energi yang digunakan. Insentif tertinggi sebaiknya diberikan kepada pengguna sumber energi dari jenis EBT.
Kedua, langkah percontohan. Bagi para calon pengguna, contoh nyata merupakan faktor yang menentukan karena daya pikat sebuah contoh nyata melebihi argumentasi kata kata berapa pun jumlahnya. Lebih lebih di negeri dengan tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi ini. Percontohan dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara (BUMN) di mana pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk menentukan arah kebijakan. Pembangkit PLN sebanyak 34% digerakkan oleh BBM. Panas bumi baru menempati 2%. Oleh karena itu, PLN perlu mempelopori penggunaan panas bumi.
Hasil kajian JICA menunjukkan bahwa apabila listrik dibeli dengan harga 8 sen dollar per kwh, investor akan berebut untuk menggali panas bumi Indonesia. Angka ini jauh lebih murah dari biaya produksi listrik menggunakan minyak yang telah melampaui 15 sen dollar AS per kwh. Selama ini, PLN memerlukan payung hukum yang lebih kuat untuk mempromosikan panas bumi karena harga listrik panas bumi ini masih lebih mahal dibandingkan listrik dari batu bara. Pemerintah baru saja mengeluargkan peraturan menteri energi dan sumber daya mineral no 14 tahun 2008 tertanggal 9 mei 2008 tentang harga jual listrik yang dibangkitkan dari panas bumi, Dengan berlandaskan aturan yang baru ini, harga jual listrik panas bumi pada kisaran 7-8 sen dollar AS per kwh. Diharapkan bahwa ini dapat menjadi payung hukum bagi PLN dalam menggali potensi panas bumi di tanah air.
Ketiga, meningkatkan kapabilitas teknologi nasional di bidang energi.. Teknologi energi mencakup teknologi-teknologi untuk studi kelayakan, desain, konstruksi serta pengoperasian fasilitas. Pemerintah perlu mengalokasikan sumber daya yang memadahi untuk meningkatkan kapabilitas ini. Ada beberapa BUMN dan institusi pemerintah yang terlibat seperti Pertamina, PLN, kementerian ESDM, BPPT dan sebagainya. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan koordinasi untuk meningkatkan kapabilitas teknologi nasional di bidang ini.
Untuk merealisasikan upaya diversifikasi energi nasional, ada satu syarat mutlak yang harus ada yaitu kepemimpinan nasional dengan visi jangka panjang. Hal ini dikarenakan kerja keras ini tidak akan membuahkan hasil dalam waktu singkat. Upaya ini ibarat menanam pohon kelapa yang boleh jadi penanamnya tidak memetik hasilnya secara langsung. Hasil jerih payah ini akan dirasakan oleh generasi mendatang. Ini lah rasanya yang sulit dicari di negeri ini.
Rohadi Awaluddin, Peneliti ISTECS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar