Rabu, 22 Juli 2009

Cerdas Menggunakan Puyer



Jakarta, Kontroversi penggunaan puyer pada anak sempat menjadi isu panas di masyarakat. Perdebatan di kalangan medis pun tak terelakkan. Apa benar puyer yang selalu jadi andalan untuk obat anak kecil kini tak lagi ampuh?

Puyer yang merupakan obat polifarmasi (percampuran lebih dari satu macam obat) disinyalir menimbulkan efek samping yang berbahaya khususnya bagi anak-anak.

Beberapa kontroversi yang merebak tersebut diantaranya yaitu, pemberian puyer berisiko menimbulkan interaksi obat-obatan di dalam puyer tersebut satu sama lain.

Sulitnya mendeteksi obat mana yang menimbulkan efek samping jika timbul gejala-gejala buruk, tidak sterilnya proses pembuatan puyer karena terdapat sisa obat yang menempel di alat penggerus, sudah rusaknya obat sebelum di tangan konsumen karena proses penggerusan dan kesalahan dalam peracikan obat.

Polemik yang menimbulkan keresahan tersebut membuat masyarakat menjadi ragu-ragu menggunakan jenis obat tersebut.

Padahal Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pun sudah menegaskan bahwa tidak semua obat puyer berbahaya. Hanya obat-obat puyer yang dibuat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawablah yang mesti dihindari.

Obat puyer memang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Indonesia. Sudah sejak zaman dulu kala obat jenis tersebut digunakan, terutama oleh masyarakat dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun sebenarnya tidak pernah melarang pemberian obat puyer.

Kebijakan suatu negara terhadap penggunaan obat juga bergantung pada kondisi negara tersebut (SDM) dan bukan sepenuhnya tergantung dari kebijakan WHO.

Alasan mengapa obat puyer lebih banyak diresepkan untuk anak-anak lebih dikarenakan keterbatasan obat jadi yang ada di pasaran di Indonesia. Dokter membuat obat puyer agar dosis obat lebih tepat, terutama untuk pasien anak.

Menanggapi isu yang menyudutkan pihak medis dan kedokteran tersebut, Ikatan Dokter Indonesia pun akhirnya mengeluarkan beberapa pernyataan terkait hal tersebut, antara lain pemberian resep obat dalam bentuk racikan atau puyer oleh seorang dokter merupakan bagian dari rangkaian praktek kedokteran. Dokter memahami dan bertanggungjawab penuh terhadap semua jenis obat yang diresepkan.

Sebenarnya obat yang diracik atau puyer tidak ada masalah sepanjang dibuat dengan cara yang baik dan benar sesuai dengan komposisi jenis obat yang rasional. IDI juga menyatakan bahwa obat dalam bentuk puyer tetap dapat digunakan dalam praktek kedokteran. Yang perlu diperhatikan disini hanyalah masalah praktek pembuatannya saja yang perlu diawasi lebih ketat supaya terjamin kehigienisannya.

Mengenai masalah polifarmasi sendiri bisa saja terjadi pada peresepan dengan obat dengan bentuk sediaan apapun juga, bukan hanya puyer, karena polifarmasi adalah keterampilan dari dokter dalam terapi yang diwujudkan dalam bentuk resep.

Bila keterampilan dokter dalam mengambil keputusan profesinya lebih mengarah pada polifarmasi, meskipun mereka memberikan resep dalam bentuk sediaan bukan puyer pun sering kali poli farmasi juga terjadi.

Disini jelas-jelas bahwa polifarmasi bukan salahnya bentuk sediaan puyer, tetapi masalah ketrampilan dan kemampuan dokter dalam pengobatan.

Setelah merunut pada inti permasalahannya, sudah jelas bahwa penggunaan puyer tidak akan menimbulkan masalah jika proses pembuatannya benar-benar mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan.

Tapi hal tersebut kembali lagi pada sang peracik obat (apoteker) yang harus berkualitas dan juga perusahaan yang mengeluarkan pun sudah terjamin mutu produknya.

Menurut Dr. Aditya Suryansyah, SpA dari RS Ibu dan Anak Buah Hati, tidak ada satupun badan atau organisasi kesehatan yang melarang pembuatan puyer, dan cara pembuatan puyer pun sudah diajarkan dalam materi kuliah kedokteran dan juga fakultas farmasi.

"Jadi membuat dan memberikan puyer boleh boleh saja. Kita tidak boleh menentang atau memaksakan agar tak boleh memberi puyer, karena ada keuntungan dan kerugian memberikan atau membuat puyer, demikian juga obat dalam bentuk sirup atau tablet," ujarnya dalam perbincangannya dengan detikHealth, Senin (21/7/2009).

Dr. Adit pun menjelaskan bahwa penggunaan puyer sering diberikan pada anak kecil atau bayi karena beberapa pertimbangan. "Dosisnya sesuai dengan umur dan berat badan, komposisi tergantung keadaan anak, harga relatif lebih murah dan penggunaaan relatif lebih praktis. Namun itu dia kerugiannya, puyer mudah rusak dan dokter yang membuat harus tahu penggunaan obat apakan gabungan obat tersebut bermanfaat atau justru saling menghambat," demikian jelasnya.

Sebenarnya obat yang diracik (puyer) tidak ada masalah sepanjang dibuat dengan cara yang baik dan benar sesuai dengan komposisi jenis obat yang rasional. IDI juga menyatakan bahwa obat dalam bentuk puyer tetap dapat digunakan dalam praktek kedokteran.

Yang perlu diperhatikan disini hanyalah masalah praktek pembuatannya saja yang perlu diawasi lebih ketat supaya terjamin kehigienisannya.

Masalah higenis itu suatu keharusan untuk semua obat, pembuatan puyer harus higenis dan bersih. Setiap selesai pembuatan puyer, tempat gerus harus dicuci, dibersihkan. Namun dengan adanya ribut tentang puyer selama ini, kualitas pembuatan puyer menjadi lebih baik. "Mungkin ada hikmahnya juga," ucap Dr. Adit.

Dalam pemberian obat di Indionesia, dokter hanya boleh memberikan resep, dan apotik (apoteker) yang membuat obat. Bila terjadi kesalahan dosis, atau terjadi kesalah tulisan apoteker harus bertanya atau bila ragu menolak untuk membuat puyer tersebut. Jadi bila terdapat kesalahan peresepan atau keluhan dari pasien, maka yang bertanggung jawab haruslah keduanya, baik dokter maupun apoteker.

"Yang terpenting dalam peresepan puyer yaitu harus ada komunikasi antara dokter dengan pasien, dan tips penting menggunakan obat adalah bila obat berubah (bau, warna, bentuk, rasa) buang saja," tegas Dr. Adit.(fah/ir)

Tidak ada komentar: