Rabu, 22 Juli 2009

Polemik Konsumsi Kedelai Transgenik



Jakarta, Polemik aman tidaknya mengkonsumsi kedelai transgenik terus bergulir. Meski belum ada penelitian yang pasti soal dampak buruk kedelai transgenik, beberapa ahli sudah menemukan adanya alergen atau zat pemicu alergi di kedelai transgenik. Biji-bijian yang banyak mengandung protein itu kini mulai banyak diwaspadai terutama di negara-negara maju seperti Eropa yang mengurangi secara drastis penggunaan kedelai transgenik.

Sementara di Indonesia, kedelai transgenik justru menjadi tulang punggung untuk produksi makanan dan minuman seperti tahu, tempe, susu kedelai atau menjadi camilan.

Apa itu kedelai transgenik?

Kedelai transgenik adalah tanaman pangan yang dihasilkan dari teknik rekayasa genetika atau biologi molekuler atau dikenal dengan Genetically Modified Organism (GMO).

Tanaman-tanaman tersebut dimodifikasi atau disisipkan gen tertentu dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat yang diinginkan seperti meningkatkan resistensi terhadap pestisida, hama, kekeringan.

Tanaman yang dihasilkan melalui teknik rekayasa genetika pun dapat diproduksi dalam waktu yang singkat, sehingga produktivitasnya menjadi lebih baik.

Data Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian mencatat hampir 60% kebutuhan kedelai Indonesia diimpor dari Amerika Serikat dan itu adalah jenis kedelai transgenik. Indonesia membutuhkan impor kedelai yang besar karena kedelai merupakan tanaman subtropis. Produktivitasnya akan rendah jika ditanam di negara tropis seperti Indonesia.

Ahli Teknologi Pangan dari Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung Robi Andoyo, STP MSc ketika dihubungi detikHealth, mengatakan tujuan awal dari menciptakan kedelai transgenik memang sudah benar. Yaitu mengimbangi antara produktivitas kedelai yang rendah dengan tingkat konsumsi masyarakat seperti di Indonesia yang tinggi.

"Namun yang menjadi kekhawatiran adalah adanya karakter-karakter yang tidak bisa dikontrol seperti munculnya protein tertentu yang bersifat alergen dan juga kontaminasi serbuk sari tanaman transgenik tersebut ke tanaman lainnya," ujar Robi.

Asal tahu saja, kedelai biasa mengandung protein isovflavon (senyawa antioksidan) yang mencapai 130-380mg/100 gram). Kedelai bisa menurunkan kolesterol, mencegah osteoporosis dengan melindungi mineral dalam tulang, menghambat atherosklerosis (penyumbatan pembuluh darah), mengurangi simptom menopause, menurunkan risiko kanker payudara dan prostat, senyawa antikanker.

Namun protein yang baik itu mulai dikhawatirkan menjadi tidak baik pada kedelai transgenik. Diduga ada protein asing di kedelai transgenik akibat proses rekayasa yang akan membuat enzym pencernaan sulit mengenalnya. Efek lanjutannya bisa memicu alergi pada pencernaan, pernafasan, kulit, sakit kepala.

Kedelai transgenik akan sangat menguntungkan jika dilihat dari sisi produktivitasnya yang tinggi. Pemerintah pun rupanya belum melarang penggunaan kedelai transgenik karena belum ada pembuktian ilmiah yang pasti mengenai efek produk GMO bagi kesehatan.

Namun Robi berharap pemerintah mulai membatasi masuknya produk GMO. Jika masih berada dalam ambang batas yang ditentukan (kurang dari 5% kandungan transgeniknya) dan mencantumkan label GMO pada kemasannya.

"Hal ini sangat penting karena salah satu peran pemerintah adalah untuk menyosialisasikan dan mengedukasi masyarakat agar mereka tidak bingung," ujar dosen yang meraih gelar Master of Science in Organic Food Chain Management di Hohenheim University, Jerman tersebut.

Robi pun menganalisis bahwa pembuktian ilmiah memang membutuhkan waktu yang sangat lama. Contohnya saja ketika pestisida ditemukan pada tahun 1700-an. Ketika itu masyarakat sangat antusias menggunakannya karena keuntungan yang dihasilkannya. Namun pada tahun 1900-an, masyarakat mulai khawatir dan menyadari akan efek samping yang kurang baik dari pestisida.

Melihat sejarah tersebut, lanjut Robi, kemungkinan pembuktian ilmiah dari efek produk transgenik bagi kesehatan pun membutuhkan waktu sekitar 200 tahun-an dari mulai ditemukannya. Sebuah perjalanan yang sangat panjang demi menemukan sebuah bukti.

Kepala Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian, Dr Ir Sumardjo Gatot Irianto ketika dimintai tanggapannya soal kedelai transgenik ini mengatakan kontroversi produk GMO memang belum menemukan titik terang dan kesepakatan
hingga saat ini.

Namun selama belum ada fakta ilmiah yang menunjukkan efek sampingnya bagi kesehatan dan lingkungan, pemerintah Indonesia tidak bisa melarang masuknya produk-produk tersebut, namun penelitian-penelitian masih terus dikembangkan untuk membuktikan kebenarannya.

"Masyarakat harus bisa melihat lebih jernih isu negatif yang berkembang mengenai pangan transgenik ini. Sangat pagi dan terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa pangan transgenik berbahaya. Selama ini kita mengonsumsi tahu dan tempe berbahan baku kedelai transgenik, tapi sampai saat ini pula belum ada kasus yang mengindikasikan pangan transgenik menimbulkan efek buruk bagi kesehatan. Masyarakat tidak perlu khawatir," tegas Sumardjo.(fah/ir)

Tidak ada komentar: