Senin, 13 Juli 2009

HIV AIDS



Dalam rangka Hari AIDS Sedunia (HAS), Yayasan KAPETA memperkenalkan Program VCT Online, interaktif, bernama KonTes HIV MAUTAU, yang dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif stigma pada upaya pecegahan HIV, sehingga lebih banyak orang bisa mengetahui status HIVnya tanpa harus menanggung rasa “malu”. Hal ini dilakukan dalam rangka upaya memutuskan mata rantai penularan HIV.

Untuk pertama kalinya di dunia, konsultasi dalam rangka Tes HIV – dikenal dengan istilah VCT (Voluntary Counseling and Testing) - dapat dilakukan secara online melalui chatting tertutup dengan konselor yang bersertifikasi dari DepKes. Sebetulnya, istilah “VCT Online” hanya untuk mempermudah pengertian tentang ide inovatif itu karena yang bersifat “online” hanya konseling dalam rangka tes HIV, yaitu pre-tes maupun pasca-tes, sedangkan tes itu sendiri dilakukan dengan cara biasa, yaitu melalui tes darah di laboratorium.

Seperti diketahui, stigma erat kaitannya dengan ketidaktahuan masyarakat tentang penyakit HIV/AIDS. Akibat stigma, orang yang ingin mengetahui status HIVnya seringkali malu atau takut melakukan VCT karena enggan bertatap muka dengan konselor, dan yang positif HIV sering tidak mengungkapkan statusnya kepada pasangannya, sehingga mata rantai penularan terus berlanjut. Menurut hasil “fact finding” Yayasan Kapeta, sebagian masyarakat enggan datang ke tempat-tempat VCT biasa karena “takut disangka ODHA padahal belum tentu positif”. Rasa takut akibat stigma itu rupanya jauh lebih besar daripada rasa ingin tahunya tentang status HIVnya.

Dewasa ini, laju epidemi HIV di Indonesia merupakan yang tercepat di Asia Tenggara. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), walaupun telah dilakukan berbagai macam upaya pencegahan, jumlah masyarakat Indonesia yang telah terjangkau maupun yang mengetahui status HIVnya masih tergolong rendah. Kasus HIV diperkirakan bisa mencapai 400.000 di tahun 2010, tetapi kasus kumulatif yang dilaporkan sampai bulan Juni lalu oleh Depkes masih kurang dari 18.000. Apapun alasannya, tentunya stigma juga berperan besar dalam kesenjangan tersebut. Maka Program MAUTAU dilahirkan untuk melawan stigma tersebut.

Ujicoba Program MAUTAU akan dimulai pada 8 Desember 2008 dengan membuka pendaftaran bagi peserta dari DKI Jakarta, di mana prevalensi HIV saat ini merupakan yang tertinggi kedua di Indonesia setelah Papua. Untuk keperluan ini, Yayasan Kapeta telah menjalin kerjasama dengan laboratorium melalui Yayasan Yakita, klinik CST (care, support, treatment) yang akan memberikan pelayanan pengobatan dan kelompok-kelompok pendukung sebaya (KDS) di DKI Jakarta.

Program MAUTAU bersifat anonim dan rahasia – para peserta tidak perlu mengungkapkan jati dirinya ketika mendaftarkan diri di website MAUTAU untuk mengikuti program VCT Online ini. Jika ujicoba prototype Program MAUTAU banyak diminati, maka akan diperluas ke kota-kota besar lainnya di Indonesia. Dengan hadirnya Program MAUTAU untuk melengkapi pelayanan VCT “tradisional” yang sudah ada, diharapkan dapat terwujud respon nasional yang lebih efektif dalam rangka penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia.

Mengecek kesehatan bebas penyakit HIV/AIDS sebagai syarat menikah perlu didukung dan disambut baik, karena pemikiran tersebut cukup cemerlang dalam upaya menyelamatkan kehidupan masyarakat dari penyakit yang menakutkan itu.

Hal tersebut ditegaskan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara, Prof Dr. Abdullah Syah, MA di Medan, Senin [08/06] , ketika diminta pendapatnya mengenai cek penyakit HIV/AIDS sebagai syarat nikah tersebut.

Wacana tentang pengecekan HIV/AIDS itu pertama kali dilontarkan pejabat di Pemprov Bengkulu, tujuannya untuk menyelamatkan warga agar keturunannya nanti tidak tertular dari penyakit berbahaya akibat menurunnya kekebalan tubuh itu. Abdullah Syah yang juga Guru Besar IAIN Sumut, menyatakan program yang dibuat Pemprov Bengkulu dinilai sangat bagus dan perlu diikuti provinsi lain.

Gagasan tersebut disampaikan pemprov itu, setelah melihat banyaknya warga maupun anak-anak yang tidak berdosa ikut menjadi korban penyakit HIV/AIDS yang sampai saat ini belum ada obatnya.

Selain itu, katanya, upaya tersebut dilakukan juga bertujuan untuk memutus mata rantai agar para penderita HIV/AIDS tidak semakin banyak. “Ini jelas sangat menghawatirkan bila terus berkembang di tengah-tengah masyarakat,” ucapnya.

Rencana tersebut bisa saja dibuat dalam peraturan daerah (Perda) agar lebih kuat, namun, itu semua tergantung pada anggota DPRD, apakah mau menyetujui Perda tersebut. “Pembuatan Perda itu adalah untuk kemaslahatan warga, dan bukan ada maksud-maksud tertentu untuk merugikan sekelompok masyarakat,” kata Abdullah Syah.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bengkulu, menganjurkan agar mengecekan penyakit HIV/AIDS sebagai syarat untuk menikah, meskipun sensitif harus dilakukan mengingat banyaknya jatuh korban akibat penyakit terebut. Ketua MUI Bengkulu, KHA Daroini menyampaikan hal itu ketika diminta tanggapannya atas wacana Wakil Gubenur Bengkulu tentang cek HIV/AIDS sebagai syarat untuk menikah.

Masalah HIV/AIDS ini, katanya, memang sensitif. Tetapi kalau tak dicarikan solusinya dapat membahayakan jiwa mereka dan keturunan. Nikah sama-sama pengidap HIV/AIDS boleh-boleh saja, asal syarat-syarat nikah terpenuhi.

“Yang jadi masalah orang sehat menikah dengan pengidap HIV/AIDS. Ini perlu dipertimbangkan. Kalau sudah saling mengetahui, tetapi masih ngotot mau menikah silakan saja,” katanya.

Kalau sebelumnya tidak tahu dan baru diketahui setelah menikah, maka pernikahan menjadi rusak karena tertipunya satu pihak. Oleh sebab itu cek HIV/AIDS menjadi penting. MUI Maluku setuju adanya persyaratan surat keterangan bebas penyakit HIV/AIDS bagi setiap pasangan yang akan melangsungkan pernikahan.

“Secara keagamaan harus didukung. Rencana itu sangat positif karena bertujuan mencegah bahaya penyebaran virus HIV/AIDS yang hanya akan menyengsarakan pasangan mau menikah,” kata Latuconsina kepada ANTARA di Ambon, Selasa.

Ia mengatakan, persyaratan bebas HIV/AIDS tidak bertentangan dengan ajaran agama, karena pada hakekatnya setiap orang yang ingin hidup berkeluarga harus memiliki pasangan yang sehat badaniah dan rohaniah. Meskipun Komisi Penanggulangan AIDS Maluku mencatat saat ini ada 800-an penderita HIV/AIDS di provinsi ini, jumlah tersebut bisa saja lebih besar karena yang terjangkit tidak diketahui persis.

“Karena itu, syarat surat keterangan bebas HIV/AIDS dari dokter atau rumah
sakit dirasakan cukup efektif guna mengantisipasi penyebaran penyakit yang belum ditemukan obatnya itu,” katanya.

“Bagi mereka yang ingin menikah, surat keterangan itu jelas akan menghilangkan kekhawatiran tertular,” katanya.





Menyinggung tentang biaya pembuatan surat keterangan bebas HIV/AIDS yang bisa mencapai lebih dari Rp200 ribu, ia menyatakan, “Yang harus dilihat adalah
tujuannya untuk kebaikan.”

Mantan Kabid Urusan Haji Kanwil Departemen Agama Maluku, Latuconsina, menilai pergaulan bebas anak muda saat ini pun harus dikontrol melalui perhatian serius dari orang tua dan lembaga-lembaga pemerhati sosial, agar tidak terjerumus penggunaan minuman keras, obat-obatan terlarang (narkoba) maupun hubungan seks bebas.

Ia menegaskan, MUI Maluku prihatin sekali pada peningkatan kasus HIV/AIDS yang cukup cepat sejak ditemukan pertama kali di Tual tahun 1994, sehingga dalam berbagai kesempatan selalu melakukan imbauan dan sosialisasi kepada umat.

“Lewat ceramah-ceramah atau khotbah Jumat, kami selalu mengajak umat terutama remaja dan generasi muda untuk menjauhi hal-hal yang berbau narkoba dan miras,” katanya

Tidak ada komentar: