Jumat, 03 Juli 2009

HUKUM TANAH ADAT








HUKUM TANAH ADAT

Tanah sangat diperlukan oleh anggota masyarakat, oleh karena itu diperlukan kaedah- kaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah. Hukum tanah adalah keseluruhan kaedah hukum yang tumbuh dari pergaulan hidup antar manusia yang berhubungan dengan pemanfaatan mengenai tentang tanah.
Hak atas tanah ada dua macam:
• Hak persekutuan ( hak ulayat)
• Hak perorangan
Pengaturan tehadap tanah dan keberadaan hukum adat:
Akhir-akhir ini muncul beberapa fenomena berkaitan dengan tanah (dalam pengertian luas di negara Indonesia yang sudah lama tidak terdengar mengklaim dirinya sebagai negara agraris.
Salah satu peristiwa yang patut dicatat terkait dengan masalah tanah tersebut adalah adanya langkah yang “tidak populer” dari pemerintah yang mengeluarkan Perpu no. 1 / 2004 tentang penambangan di hutan lindung, yang otomatis memberikan jalan bagi Kepres no. 41 / 2004 tentang pemberian izin kepada 13 perusahaan tambah di kawasan hutan lindung. (kompas, 16 Juli 2004). Suatu langkah yang patut dipertanyakan, mengingat terdapatnya hak-hak masyarakat terhadap hutan lindung tersebut.
Selanjutnya, langkah pemerintah berikutnya adalah menerima kunjungan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mengajukan dan menjelaskan ide untuk dibentuknya Komisi Nasional yang khusus menangani perkara Agraria, karena selama puluhan tahun terakhir ini (sejak tahun 1970an) terdapat kurang lebih 1700an kasus terkait agraria atau tanah ini. Suatu langkah kontras, mengingat sebelumnya pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang memicu perkara mengenai agraria malah bertambah banyak.
Fakta yang ada tersebut, kemudian akan berpengaruh kepada suatu kelompok masyarakat yang paling sering mengalami masalah tanah yakni masyarakat adat. Keberadaan masyarakat adat berikut hukum adat yang mengikuti dibelakang mereka kembali naik ke permukaan diawali dengan keberadaan beberapa peraturan yang memberikan tempat yang layak bagi mereka. Bermula dari keberadaan UU tentang pemrintah daerah (UU No. 22 tahun 1999, LN 1999 no. 60 TLN 3839) yang kemudian memberikean kecenderungan bagi daerah-daerah untuk “mengatur” Sumber Daya Alam daerah masing-masing, termasuk masalah tanah dan hukum adat yang berlaku bagi masyarakat tersebut. tentunya kondisi ini pada akhirnya akan berpengaruh pada eksistensi masyarakat adat di masing-masing daerah tersebut.
Ketentuan tersebut mendapatkan alas hukum yang sangat kuat dengan diamandemennya UUD 1945 dalam beberapa pasalnya yang mengakui Hak masyarakat adat tersebut, diantaranya Pasal 18 B (2) yang berbunyi : “ negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU. Juga pada Pasal 28 I (3) yang merumuskan bahwa “ identitas budaya dan hak msyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Serta beberapa pasal lainnya yang mengindikasikan pengakuan “kembali” keberadaan masyarakat adat tersebut.
Ketentuan-ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa pemerintah pada akhirnya harus memperhatikan hak masyarakat adat sebagai upaya mempertahankan identitas budaya bangsa sekaligus hak-hak adatnya, artinya, apabila terdapat suatu komunitas masyarakat adat (tradisional) yang menyatakan dirinya ada dan msih hidup, maka negra indonesia harus dan wajib melindungi hak-hak adat mereka.
Adanya ketentuan seperti perpu no. 1 tahun 2004, kemudian pengakuan keberadaan masyarakat adat dalam suatu UUD, tentunya akan menimbulkan implikasi yang cukup “membingungkan” dalam dunia nyata (dunia masyarakat adat terkait masalah tanah) sekaligus dunia pendidikan. Hal ini kemudian disikapi oleh beberapa kalangan masyarakat, mulai dari kalangan akademisi sampai dengan LSM. Termasuk seperti yang dilakukan oleh fh unbraw bekerjasama dengana Huma, dengan menyelenggarakan seminar regional mengenai “eksistensi hukum adat dalam politik hukum di indonesia’ pada tanggal 26 juli 2004, yang secara garis besar membahas kekhawatiran akibat hukum dari arah politik hukum saat ini terhadap keberadaan masyarakat dan hukum adat, sekaligus menggugah kembali masyarakat umum untuk melihat kembali keberadaan hukum adat saat ini. Seminar tersbut juga menggambarkan adanya kemunculan peradilan adat dibeberapa daerah di Indonesia yang muncul melalui Peraturan Daerah guna menyelesaikan sengketa adat, termasuk masalah tanah. Bahkan pada akhirnya, terlihat adanya kecenderungan untuk menggugah kembali berbagai kalangan untuk kembali menggunakan Hukum Adat sebagai solusi permasalahan yang terkait dengan masalah tanah.
Kondisi ini, apabila kita bandingkan dengan keberadaan UUPA, yang nota bene merupakan satu-satunya peraturan mengenai tanah ( unifikasi aturan mengenai tanah) tentunya cukup mengundang pemikiran, bahwa apakah keberadaan UUPA tersebut akan terpinggirkan dengan munculnya pengakuan kembali hukum adat dan masyarakat adat terhadap tanaha yang digunakan sebagai alat pertahanan baru bagi masyarakat adat. Akankah politik hukum akan mengarah pada keberagaman, dan meninggalkan keseragamana ?
Sebagai produk hukum, UUPA seharusnya dapat bersikap netral, meskipun pada akhirnya dipertanyakan apabila ditinjau dari aspek politik hukum, apakah benar bahwa jika sudah ada politik dalam suatu hkum akan menghasilkan suatu produk hukum yang netral ?
Pertanyaan demikian tidak perlu langsung dijawab secara kongkrit, karenaq jka kembali dikaitkan denagn masyarakat adat sendiri, maka fenomena dikalangan nilai-nilai hukum sendiri dapat menunjukkan kemungkinan tidak netralnya suatu produk hukum. Seperti UUPA, jika dilihat dari nilai keadilan hukum, maka masyarkaat adat cenderung inginn melindungi hak-hak mereka atas tanah tidak melalui UUPA melainkan hukum adat. Sementara dari nilai kepastian hukum, para aparat penegak hukum tetap akan menggunakan produk hasil nasional, yakni UUPA tersebut. Jika di lingkup nilai-nilai hukum sendiri telah muncul keragaman keinginan akan perlindungan hukum, makia dapat dibayangkan bagaimana kondisi di tingkat yang lebih tinggi seperti pada aspek hukum dan politik.
Fenomena demikian, mengarahkan pada kemungkinan adanya keberagaman dari ketentuan hukum yang mengatur masalah tanha, apabila dikatikan dengan masyarkaat dan hukum adat. Saat ini, apabila dilihat dari pengaturan pasal-pasal dalam UUD 1945 dan rencana akan dibuatnya uu khusus mengenai hukum adat maupun masyarakat adat menunjukkan bahwa arus gelombang politik hukum mengenai pengaturan tanah saat ini adalah kepada keberagaman. Meskipun kondisi keberagaman ini belum langsung menjamin adanya perlindungan hukum terhadap tanah milik masyarakat adat, namun paling tidak memberikan harapan bagi masyarakat adat untuk diakuinya hukum adat serta hak mereka terhadap tanah adat mereka, yang akhir-akhir ini terancam hilang, mengingat pemerintah tidak akan segan “merampasnya”. Lha wong hutan lindung yang milik masyarakat indonesia secara keseluruhan saja bisa diberikan kepada “pribadi-pribadi” melalui keputusan legal, apalagi hanya “sebidang” tanah milik masyarakat adat ?
Untuk itu, pengakuan masyarakat adat sekaligus hukum adat ini, perlu didukung. Semangat tersebut harus terus dijaga, namun tetap realistis. Langkah-langkah realistis tersebut, diantaranya mengikutsertakan masyarakat adat untuk ikut serta dalam proses pembentukan suatu UU dalam fase politik hukum. Selain itu agak keberadaannya diterima secara hukum nasional dan diakui, maka perlu untuk mengorganisisr masyarakat adat tersebut dalam suatu perkumpulan atau organisasi yang diakui umum. Hal positif yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) patut diakui sebagai suatu langkah realistis yang harus dicontoh oleh banyak pihak, terutama masyarakat adat yang belum menjadi bagiannya.
Pada akhirnya, jika seluruh masyarakat indonesia mendukung keberadaan masyarakat adat dan hukum adatnya, maka sudah waktunya pemerintah indonesia untuk lebih memikirkan kebahagaian dan kepentingan masyarakat banyak. Tidak ada salahnya kali ini pemerintah Indonesia untuk lebih mengutamakan kesenangan masyarakat banyak melalui hukum sehingga mempekecil ketidaksenangan masyarakat, sebagaimana dialami masyarkat adat saat ini, termasuk masyarakat indonesia yang tetap ingin memiliki hutan lindung untuk diberikan kepada anak cucu nanti. Kalau sudah pada tahap ini, tidak salahnya menggunakan teori utilitas bahwa the greatest happines of the greatest number of people.


HAK PERSEKUTUAN (HAK ULAYAT)
Hak persekutuan adalah hak yang dimiliki dan dikuasai oleh suatu kelompok masyarakat tertentu dalam suatu wilayah dimana mereka hidup, sering disebut hak komunal. Hak ini meliputi seluruh wilayah desa, baik tanah liar seperti hutan maupun tanah yang sudah dikuasai atau digarap seprti sawah,ladang dll.
Hak ulayat hanya dijumpai pada masyarakat berdasarkan teritorial dan genealogis teritorial saja. Dalam inlandse gemeinte ordonanti ( IGO) stb 1906 no.83 pasal 10, menyebutkan bahwa tanah milik komunal adalah milik desa yang berkedudukan sebagai badan hukum. Tanah milik desa termasuk tanah bengkok dan tanah ganjaran.
Setiap anggota persekutuan berhak untuk membuka tanah, artinya tiap warga yang ada dalam masyarakat persekutuan tersebut mempunyai hak untuk membuka tanah secara bersama – sama, dengan meminta ijin terlebih dahulu kepada kepala adat kemudian ia dapat meletakkan tanda atau pancang dimana tanah tersebut ingin dibuka. Dimana ia meletakkan pancang tersebut disitulah ia mempunyai hak atas tanah tersebut.
6 ciri –ciri hak ulayat :
• hanya persekutuan hukum dan para anggotanya yang berhak memanfaatkan dan memungut hasil dari segala sesuatu yang ada atas dan didalam hak ulayat tersebut.
• Orang luar tidak boleh memanfaatkan dan mengambil hasil dari tanah ulayat, kecuali ada ijin dan peguasa di wilayah tersebut dengan membayar uang sewa atau pengakuan dan lain-lain.
• Hak individu diliputi oleh hak persekutuan, dalam hal ini hubungan sepert bola, artinya semakin kempis hak persekutuan atau sebaliknya.
• Hak ulayat tidak dapat dipindah tangankan dan diasingkan untuk selama-lamanya, artinya selama hak itu masih merupakan hak persekutuan, maka selama itu pula tidak dapat dialihkan.
• Persekutuan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di atas linkungan ulayat, termaksud perbuatan yang melawan, hukum dari para warganya.
• Hak ulayat meliputi tanah – tanah yang sudah digarap maupun tanah – tanah lain.
Hak ulayat terdiri atas 2 jenis:
1. hak ulayat berlapis satu yang terdapat pada persekutuan desa.
2. hak ulayat berlapis dua yang terdapat pada persekutuan daerah.

Hak ulayat mempunyai hubungan ke dalam dan keluar.
a. Hubungan ke dalam
Hak ulayat menjamin kehidupan daripada anggotanya, oleh sebab itu tiap-tiap anggota berhak untuk mengambil hasil dari tanah, binatang dan tumbuh-tumbuhan yang berada diatas tanah ulayat. Hubungan hak persekutuan dengan hak perseorangan adalah merupakan hubungan timbal balik artinya kekuatan yang sama, dimana hak perseorangan mempertahankan diri terhadap hak persekutuan, demikian sebaliknya.

b. Hubungan keluar
Hubungan keluar dengan orang-orang yang bukan anggota persekutuan artinya apabila orang luar persekutuan yang ingin memasuki sesuatu persekutuan maka yang bersangkutan harus terlebih dahulu minta izin dan membayar uang masuk. Orang luar kedudukannya hanya sebagai penumpang, maka kewajibannya membayar sewa pada setiap kali panen. Kepada para orang luar tersebut oleh persekutuan diberi hak menikmati atas tanah ulayat selama satu kali penen dan mereka tidak boleh menjadi ahli waris serta tidak boleh membeli tanah di wilayah persekutuan yang dimasukinya.
Objek dari hak ulayat adalah meliputi tanah, air, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang yang hidup di atas lingkungan ulayat.
Lingkungan hak ulayat mempunyai 2 arti yaitu:
1. satu lingkungan ulayat mempunyai dua wilayah artinya dalam satu lingkungan para anggotanya ada yang hidup dan nafkah di darat.
2. terhadap sebidang tanah berlaku dua hak ulayat artinya dalam satu wilayah dua hak ulayat, dimana masing-masing hak ulayat tersebut merupakan bagian dari satu persekutuan daerah.
Perubahan hak ulayat menjadi hak perseorangan dapat berlaku dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Apabila seorang pemimpin lingkungan ulayat menyatakan dirinya adalah sebagai pendukung dari hak ulayat akibatnya pimpinan lingkungan ulayat (raja) menyatakan dirinya melalui kekuasaan yang ada padanya selaku pemilik tanah maka pemimpin itu sebagai pemilik dari tanah ulayat.
2. apabila anggota-anggota ulayat menarik (orang-orang) luar untuk mengusahakan tanah-tanah hutan yang kosong dengan mengadakan pembayaran lebih dahulu.
3. apabila dari para anggota ulayat telah menarik biaya, jika ia mau mengusahakan tanah.
Maka dengan cara diatas timbullah hak perseorangan. Maka tiap-tiap anggota persekutuan berhak untuk mengadakan hubungan hukum tanah dengan dan semua isi yang ada di atas tanah ulayat, sehingga tiap anggota tersebut telah memiliki hubungan tertentu dengan tanah yang dikuasai atas tanah ulayat.
Hubungan tertentu ini meliputi hak-hak atas tanah yang mencakup:
1. hak milik atas tanah yaitu hak yang dimiliki anggota persekutuan terhadap hak ulayat dan ia telah mempunyai kekuasaan penuh untuk bertindak atas tanah yang dimilikinya, walaupun tanah milik bukan berarti dikuasai secara sekehendak hati dan sebebas-bebasnya namun hak milik itu mempunyai fungsi sosial artinya apabila persekutuan maka hak milik tersebut dapat dicabut kembali.
2. hak menikmati yaitu hak yang diberikan kepada seorang untuk memungut hasil tanah waktu satu kali panen.
3. hak yang didahulukan artinya hak yang diberikan kepada seseorang untuk mengusahakan tanah, dimana orang tersebut mempunyai hak didahulukan dari pada orang lain. Yang mempunyai hak didahulukan adalah,
a. orang yang tidak pertama kali meletakan tanda
b. orang yang terakhir mengusahakan tanah tersebut
c. orang yang mempunyai batas berdekatan tanah tersebut.
4. hak wenang beli yaitu hak yang diberikan kepada seseorang untuk membeli sebidang tanah dengan mengesampingkan orang lain. Hak wenang beli dapat diberikan kepada:
a. sanak saudara dari si penjual
b. para anggota ulayat
c. para tetangga dari si penjual
5. hak memungut hasil karena jabatan yaitu hak yang diberikan kepada pengurus selama ia memangku jabatan sebagai pengurus masyarakat.
6. hak pakai yaitu hak yang akan diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk memungut hasil dari suatu bidang tanah.
7. hak gadai dan hak sewa yaitu hak yang timbul karena adanya perjanjian atas tanah.
8. hak raja yaitu hak yang diberikan kepada raja untuk memungut hasil karena kedudukannya sebagai penguasa. Oleh karena itu hubungan antara hak ulayat dengan hak perseorangan yang dilingkupi hak ulayat adalah berlaku teori balon sebagaimana yang dikemukakan ter haar.
Kedudukan hak ulayat di dalam UUPA 5/60
Hak ulayat diakui tegas dalam UUPA 5/60 dimana pasal 3 ditegaskan sebagai berikut: dengan mengingat ketentuan-ketentuan pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Dalam pelaksanaannya ketentuan hak ulayat dapat dilihat pada pasal 5 yang menyatakan: ”Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan hukum agama.”
Hak ulayat yang bersumber pada hukum adat dan hak ulayat tersebut tidak boleh mengalangi pemberian hak guna usaha yang hendak diberikan oleh pemerintah demi pemanfaatan tanah yang sebaik-baiknya. Jadi tegasnya bahwa di alam negara yang merdeka tidak dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan hak-hak ulayat secara mutlak, karena pemerintah mempunyai kekuasaan untuk mengatur setiap warganyaguna memperoleh penghidupan yang layak secara adil dan merata. Oleh sebab itu hak ulayat masih diakui sepanjang hak tersebut tidak menghambat pembangunan nasional, jika hak ulayat ini sebagai penghalang maka hak tersebut akan dikesampingkan.
Ada 4 hak pokok yang mempengaruhi hukum tanah adat semasa pemerintah kolonial.
• Adanya rapat bumi
Berdasarkan penyelidikan pemerintah kolonial bahwa semua tanah-tanah yang ada kepunyaan raja-raja dan gubernur yang disewakan kepada penghulu dan penghulu menyewakan pula kepada warga masyarakat, maka untuk memperoleh uang pemerintah kolonial menyewakan tanah-tanah kepada kaum partikelir, sehingga ada sebagian tanah tidak lagi dimiliki oleh masyarakat adat tetapi sudah menjadi milik orang asing yang tunduk kepada reglement yang dibuat pemerintah kolonial.
• Adanya culturstelsel
Rakyat dipaksa menanam sebagaimana dikehendaki pemerintah kolonial, dimana rakyat harus menanam 1/5 dari luas ladangnya untuk tanaman koi, teh, tembakau, hal ini menguntungkan pemerintah kolonial karena harga pembelian hasil dari rakyat dilakukan secara monopoli.
• Adanya agrarische Wet, agrarische Besluit dan domein verklaring
Pada masa pemerintahan kolonial aturan poko mengenai tanah diatur dalam pasal 51 IS mengenai Agrarische Wet yang berintikan sebagai berikut:
a. Bahwa GG tidak boleh menjual tanah.
b. Larangan menjual tanah ini tidak termasuk tanah-tanah kecil guna perluasan kota atau desa, maupun tempat-tempat pendirian perusahaan.
c. GG dapat menyewakan tanah kepada pihak partikelir erdasarkan UU, namun termasuk tanah-tanah yang diusahai oleh pribumi
d. GG harus menjaga kepentingan rakyat pribumi dlam penyewaan tanah-tanah kepada pertikelir.
e. GG tidak akan mengambil alih tanah-tanah yang telah dikuasai oleh pribumi, baik yang diperuntukan guna kepentingan pribumi, si pribumi maupun tanah-tanah ulayat atau keperluan-keperluan lain yang diusahai oleh pribumi, kecuali demi kepentingan umum atau demi keperluan perkebunan pemerintah kolonial namun pengambilan tanah tersebut akan diberi ganti rugi yang pantas.
f. Tanah-tanah yang dimiliki pribumi dapat diberikan hak eigendom, dengan membebani kewajiban-kewajiban sipemilik kepada pemerintah kolonial dan sipribumi diberi hak dapat menjual tanahnya kepada yang sesama pribumi.
g. Dengan peraturan-peraturan perundang-undangan akan diberikan tanah-tanah dengan hak erfpacht (HGU) untuk paling lama 75 tahun.
h. Tanah-tanah yang dikuasai pribumi setelah dapat disewakan kepada yang bukan pribumi.

PERJANJIAN TANAH
Apabila kita membicarakan tentang perjanjian tanah atau transaksi tanah maka yang diuraikan adalah mengenai perbuatan kepemilikan tanah dan peralihan hak-hak atas tanah. Pemilikan tanah merupakan perjanjian sepihak yang menyebabkan timbulnya hak milik tanah sedangkan peralihan hak-hak tanh merupakan perjanjian antara dua pihak, sebagaimana disebut dalam bahasa hukum adat seperti jual lepas, jual gadai, jual tahunan, pemberian tanah, pertukaran tanah dan sebagainya yang menyebabkan timnulnya hak milik tanah atau hak penguasaan tanah.
1. Pemilikan tanah
Pemilikan tanah sebagai perbuatan perjanjian sepihak, adalah dikarenakan pihak yang satu yang berbuat sedangkan pihak yang lainnya hanya diam, yang dapat diartikan hanya menyerah saja pada ulah dan padah dari pihak yang berbuat. Perbuatan sepihak itu dapat dilakukan secara berkelompok atau dilakukan perseorangan.
Selain dari pemilikan tanah dengan cara membuka daerah baru yang dilakukan oleh kepala rombongan atas prakarsa kelompok masyarakat didalam lingkungan tanah dari suatu lingkungan kukuban masyarakat hukum adat, dapat pula terjadi dilakukan oleh kelompok masyarakat dari daerah lain atas prakarsa masyarakat bersangkutan sendiri dan atau yang diatur dan dibiayai oleh pemerintah, sebagaimana halnya dengan proyek-proyek transmigrasi dimasa sekarang.
Pembukaan tanah yang dilakukan oleh masyarakat didalam lingkungan tanah hak ulayat masyarakat bersangkutan, dilaksanakan berdasarkan persetujuan dan pengakuan tua-tua adat setempat, sedangkan yang dilaksanakan oleh masyarakat dari luar daerah hak ulayat bersangkutan, yang dilakukan dalam bentuk rombongan, atau rombongan dalam bentuk organisasi yang bersifat swasta atau semi swasta dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari masyarakat pemegang hak ulayat bersangkutan. Demikian pula yang dilakukan oleh pemerintah adalah berdasarkan persetujuan yang diberikan oleh masyarakat adat bersangkutan.
Disamping kepemilikan tanah kepemilikan tanah dalam arti penguasaan tanah oleh segolongan kerabat, dalam bentuk tanah kerabat didalam lingkungan hak ulayat tanah yang penguasaannya ditentukan oleh kerabat bersangkutan yaitu golongan kerabat pemerintahan adat di daerah-daerah berpenduduk tidak padat, terdapat hak-hak peroranagn atas tanah dalam bentuk hak pakai dan hak memungut hasil karena jabatan didaerah-daerah yang berpenduduk kurang padat atau berpenduduk padat.
Apabila pemilikan tanah dilakukan perseorangan dengan membuka hutan yang dimulainya dari mebali secara berangsur akan dapat menjadi hak milik perseoranngan dalam arti hak milik Indonesia, dalam masa sejak terjadinya ladang, sampai ia mananami tanah itu dengan tanaman keras yang rapat. Andaikata ia tidak meneruskan ladangnya menjadi kebun dan tanah itu kembali menjadi semak belukar, maka terhadap si pembuka semula masih tetap melekat hak terdahulu untuk mengusahakan. Tanah-tanah demilikan seperti halnya pada waktu membeli diminahasa merupakan tanah kawak, tanah apar, atau tanah palau yang karena masih adanya hasil-hasil hutan dari bidang tanah itu, maka tanah itu merupakan tanah cadangan tetap buat kerabat bersangkutan karena masih adanya hasil hutan disitu.
2. Jual lepas
a. Berlakunya jual lepas
Jual beli tanah menyebabkan beralihnya hak milik tanah dari penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya disebut jual lepas. Jadi jual lepas itu adalah perbuatan penyerahan dengan demikian tidak sama maksudnya dengan ”levering” menurut hukm barat, oleh karena hukum adat tidak memisahkan pengertian jual dengan penyerahan sebagaimana hukum barat. Jika penyerahan itu bertujuan menyerahkan untuk selam-lamanya maka perjanjian itu jual lepas, jika penyerahan itu bertujuan menyerahkan untuk dapat ditebus kembali, maka perjanjian itu jual gadai, jika penyerahan itu bertujuan menyerahkan untuk selama waktu tertentu maka perjanjian itu jual tahuanan.
Perbuatan jual lepas adalah perbuatan tunai yang berlaku dengan riil dan konkrit artinya nyata dan jelas dapat ditangkap oleh panca indera. Penyerahan benda dan pembayaran harganya terjadi dengan tunai, sudah diserahkan dan sudah dibayar harganya, walaupun belum lunas semua pembayarannya. Berbeda dengan perbuatan koop atau verkoop menurut hukum barat yang sifatnya konsensual dan abstrak sebagai suatu perbuatan hukum yang berdasarkan pada kata sepakat. Jadi jika sudah sepakat maka perjanjian jual beli itu sudah terjadi (pasal 1458 KUHPerdata) walaupun bendanya belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
Menurut hukum adat kata sepakat didalam suatu perjanjian merupakan pebuatan pendahuluan untu melaksanakan apa yang disepakati. Jadi dengan janji omong saja belum mengikat, ia akan mengikat jika diperkuat dengan pemberian (panjar), sebagai tanda akan memenuhi janji, dan walaupun sudah diberi panjar belum berarti mewajibkan penjual menyerahkan barangnya. Karena penjualan benda tidak bergerak adalah penyerahan benda itu dengan harga tertentu dan bukan merupakan suatu perjanjian yang menjelmakan kewajiban untuk menyerahkan. Dapat dikatakan bahwa menurut pengertian hukm adat penjualan dan penyerahan itu adalah satu.
Pembayaran jual lepas, jual gadai ataupun jual tahunan boleh saja tidak berupa uang tetapi mungkin saja berupa hasil bumi atau dibayar sebagian dengan uang sebagian dengan perhiasan emas atau lainnya yang disepakati bersama, jika ketika jual beli itu terlaksana pembayaran belum lunas, tidak berarti bendanya belum diserahkan penjual dan belum diterima kembali. Perjanjian itu tetap berlaku mengenai pembayaran yang belum lunas merupakan perjanjian hutang-piutang.
b. Tentang penyerahan tanah
Penyerahan tanah dan pembayaran harga yang terjadi antara penjual dan pembeli menurut hukum adat berarti pemindahan hak milik secara tunai. Jadi tidak lagi diperlukan adanya perbuatan levering sebagaimana ditentukan dalam pasal 1459 KUHPerdata. Tetapi walaupun penyerahan benda di dalam jual lepas tidak merupakan perbuatan terpisah dari perbuatan jualnya namun menurut adat kebiasaan, si pembeli akan menguasai bidang tanah yang telah dibeli itu, adakalanya ia masih perlu untuk memberitahukan maksud kepemilikannya kepada sipenjual bukan saja karena sifat kekeluargaan antara satu dengan yang lain. Tetapi juga untuk melengkapi hal-hal yang perlu mendapatkan penjelasan, misalnya tentang batas tanah, ukuran tanah, isi tanah dan sebagainya. Tentunya pemberitahuan tidak perlu sampai melakukan pemeriksaan atas bidang tanahnya jika sebelum terjadinya pelaksanaan perjanjian jual beli sudah dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu.
c. Jual lepas dengan panjer
Didalam perjanjian jual lepas tanah kebanyakan berlaku dengan sistem panjar, jika perjanjian dibuat tanpa membeerikan panjer maka berbicara yang terjadi antara pihak baru merupakan janji omong saja, jadi baru afspraak saja dan belum merupakan suatu kesepakatan apalagi suatu perikatan dan janji itu dan tidak berakibat timbulnya kewajiban. Tetapi jika janji itu diikuti dengan pemberian tanda jadi, tanda pengikat, tanda akan jadi atau yang disebut panjar maka janji itu menibulkan kewajiban untuk berbuat dalam arti untuk melaksanakan pembelian. Tanpa adanya panjer maka orang tidak akan merasa adaa ikatan untuk berbuat, untuk terus melaksanakan jual beli itu. Dengan adanya panjer persetujuan jual-beli itu juga belum terjadi, ia baru dikatakan terjadi apabila pemberian panjer kemuadian disusul lagi dengan pembayaran dan penyerahan barangnya, barulah sejak itu dikatakan jual beli itu terjadi. Jika pemberian panjer tidak disusul dengan pembayaran oleh si pembeli kepada penjual maka perjanjian itu batal dan pemberi panjer kehilangan uang panjernya. Sebaliknya jika susulan pembayaran diberikan ternyata barang sudah dijual penjual kepada orang lain, maka penjual harus mengganti kerugian kepada pemberi panjer dengan mengembalikan panjer 2 kali lipat atau lebih, begitu pula dengan terjadinya pembatalan dikarenakan urung jual, yaitu tidak jadi dijual, jika alasan dapat diterima pemberi panjer ada kemungkinan panjer hanya dikembalikan saja menurut jumlah yang diterima penjual.
d. Kemungkinan batalnya jual lepas
Kemungkinan batalnya jual lepas atas tanah adalah dikarenakan masih kuatnya lembaga hak kerabat atau hak tetangga, adanya larangan menjual hak milik tanah kepada bukan anggota kerabat atau kepada orang asing yang bukan warga adat bersangkutan.
e. Perlindungan hukum terhadap pembeli
Jika terjadi si pembeli tidak mengetahi bahwa tanah yang dibeli itu bukan hak milik yang sebenarnya dari si penjual sendiri. Dalam hal ini jika pembeli itu beritikad baik maka ia harus dilindungi hukum itikad baik itu dapat dilihat antara lain sebagai berikut:
• Bahwa si pembeli betul-betul tidak mengetahui tanah yang dibeli itu adalah tanah waris.
• Bahwa jual beli dilaksanakan dengan terang dan disaksikan oleh tua-tua adat
• Bahwa penjual dengan nyata diketahui menguasai tanah dalam waktu yang sudah lama ( disekitar 15 tahun atau lebih).
f. Sahnya perjajian jual lepas
Ter Haar mengemukakan tanpa ikut sertanya kepala persekutuan atau tanpa adanya bantuan maka parjanjian itu tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Jadi jika kepala persekutuan menolak untuk membantu perjanjian itu, maka perjanjian itu tidak sah. Di masa sekarang yang harus diperhatikan adalah siapa yang disebut kepala persekutuan.
g. Jual lepas setelah UUPA
Setelah berlakunya UUPA maka setiap peralihan hak atas tanah harus dilaksanakan dihadapan pejabat yang ditunjuk menteri agraria.
3. Jual Gadai
Jual gadai adalah penyerahan tanah untuk dikuasai orang lain dengan menerima pembayaran tunai dimana si penjual tetap berhak untuk menebus kembali tanah tersebut dari pemberi gadai.
Waktu penebusan kembali dilakukan oleh penggadai terserah kepada kehendak dan kemampuan si penggadai. Hak menebus dan hak menguasai tanah gadai dapat diwariskan terhadap ahli waris. Dengan mengingat pasal 7 Perpu Nomor 56/1960 menyatakan bahwa ”barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yg mulai berlaku, peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu 1 bulan setelah tanaman yg ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan dan barang siapa melanggar maka dapat dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.10.000,-
Penebusan gadai tidak dapat merugikan pemegang gadai kecuali untuk tanah gadai yang tidak diusahakan, sedangkan untuk tanah yg diusahakan harus diperhatikan hak-hak memungut hasil tanaman.
Penagihan uang gadai berdasarkan perjanjian yang diadakan sebelumnya, jadi bukan berdasarkan hukum adat. Penagihan uang gadai di pengadilan harus dinyatakan tidak dapat diterima jika dikarenakan pemegang gadai membutuhkan uang dan sifatnya pelunasan hutang, tidak memungkinkan ditagihnya kembali uang gadai itu walaupun tanah gadai itu sebagian atau seluruhnya musnah namun pemegang gadai tidak berhak meminta uang gadainya kembali.
Menurut hukum adat, pemegang gadai dapat mengalihkan gadainya, artinya pemegang gadai dengan persetujuan penggadai menyerahkan tanah gadai kepada orang lain dengan menerima uang gadai dalam jumlah yang sama dari pemegang gadai yang baru. Sedangkan yang dimaksud dengan menganakkan gadai, apabila pemegang gadai tanpa persetujuan penggadai menyerahkan tanah gadai kepada orang lain dengan menerima pembayaran dalam jumlah yang mungkin tidak sama dengan perjanjian apabila sewaktu-waktu pemegang gadai akan menebusnya dari pemegang gadai tersembunyi itu, maka tanah gadai harus diserahkan kembali kepadanya.
Selama tanah gadai belum ditebus penggadai maka selama itu pemegang,selama itu pemegang gadai mempunyai hak atas tanah gadai walaupun tanah gadai itu sudah dialihkan hak miliknya oleh penggadai. Menurut yurisprudensi, berbagai pengadilan dimasa sebelum perang dunia kedua tidak dengan sendirinya demikian. Oleh karena untuk itu, pemegang gadai masih harus mengajukannya kepada pengadilan agar dapat diperiksa dan diadili.
Jelasnya perjanjian gadai tanah tidak dapat disamakan dengan perjanjian hipotik yang diatur dalam pasal 1178 KUHPer yang mana jika hutang tidak dilunasi dalam waktu tertentu maka si berpiutang diberi kuasa yang tidak dapat dicabut kembali untuk melelang tanah itu dihadapan umum. Sesungguhnya perjanjian hipotik menurut BW tegasnya bertentangan dengan asas kekeluargaan hukum adat.
Hak gadai tidak sah dikarenakan perjanjian jual gadai itu hanya dibuat atas kesepakatan keduabelah pihak saja tanpa ada kesaksian dari tua-tua adat. Menurut hukum adat, sahnya jual gadai itu tergantung kepada kesepakatan kedua pihak yaitu antara penggadai dan penerima gadai. Yang jadi persoalan ialah, sejauh mana sahnya jual gadai itu mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga. Dalam hal ini diperlukan adanya kesaksian tua-tua adat apalagi jika tanah gadai itu adalah tanah pusaka agar terhindar dari pernyataan di pengadilan yang menyatakan bahwa jual gadai itu tidak sah.
Gadai tanah dalam sistem barat,bersifat accessoir . Jadi, gadai tanah dalam hukum barat itu adalah penyerta dari perjanjian hutang piutang pokok, berarti jika hutang lunas karena pembayaran maka gadai tanahnya menjadi tidak ada, dan sebaliknya.
Jual gadai dalam hukum adat,merupakan transaksi yang berdiri sendiri dan intinya adalah perjanjian tanah dikarenakan pemilik tanah memerlukan uang tanah gadai. Dimana tanah gadai itu diserahkan penggadai kepada penerima gadai yang menjadi pemegang gadai. Sedangkan pinjaman dengan jaminan tanah menurut hukum adat merupakan perjanjian penyerta.

4. Jual Tahunan
Jual tanah tahunan,penerima tanah berhak mengolah tanah,menanami dan memetik hasilnya selama batas waktu yang dijanjikan, biasanya,1-3 tahun panen. Setelah habis waktu sewa, masih dapat diperpanjang atau dihentikan hubungan sewa itu.

5. Pemberian tanah
Pemberian tanah adalah penyerahan tanah kepada anggota kerabat atau orang lain bukan karena adanya suatu kebutuhan pembayaran uang melainkan karena sesuatu seperti berikut: sebagai tanda pengabdian, tanda kekeluargaan, pembayaran denda, pemberian perkawinan, sebagai barang bawaan dalam perkawinan.
6. Pembuktian tanah
Dalam transaksi tanah menurut hukum adat tidak disyaratkan harus diatas kertas, tetapi cukup dengan kesaksian anggota kerabat tetangga dan tua-tua adat. Namun transaksi, jual lepas, jual gadai banyak juga yang dibuat dalam bentuk tertulis, bermaterai atau tidak bermaterai dengan uraian isi perjanjian yang kurang sempurna.
Jika pembuktian hak atas tanah tidak dapat dibuktikan dengan tertulis maka pembuktian lainnya harus diperhatikan yaitu selain dari saksi-saksi hidup (manusia) dan saksi-saksi mati (benda).

Beberapa perbandingan mengenai gadai dalam hukum perdata,undang-undang pokok agraria dan adat.

GADAI DALAM HUKUM PERDATA
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang yang berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan. Gadai diatur dalam pasal 1150-1160 KUHPerdata.
Sifat-sifat gadai:
• Gadai adalah untuk benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
• Gadai bersifat accesoir, artinya merupakan tambahan dari perjanjian pokok, yang dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai debitur itu lalai membayar utangnya kembali.
• Adanya sifat kebendaan.
• Syarat inbezitztelling, artinya benda gadai harus keluar dari kekuasaan pemberi gadai, atau benda gadai diserahkan dari pemberi gadai, atau benda gadai diserahkan dari pemberi gadai kepada pemegang gadai.
• Hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri.
• Hak preferensi (hak untuk didahulukan), sesuai dengan pasal 1130 yo pasal 1150 KUHPerdata.
• Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi, artinya sebagian hak gadai tidak akan menjadi hapus dengan dibayarnya sebagian dari utang. Oleh karena itu, gadai tetap melekat atas seluruh bendanya.
Objek gadai adalah semua benda bergerak dan pada dasarnya dapat digadaikan baik berwujud maupun tidak berwujud seperti surat utang-piutang kepada pembawa (aan toonder), atas tunjuk (aan order), atas nama (op naam) serta hak paten.
Hak pemegang gadai
a. Pemegang gadai berhak untuk menjual benda yang digadaikan atas kekuasaan sendiri, untuk melunasi utang dari debitur dan sisanya diberikan pada debitur. Penjualan barang tersebut harus dilakukan dimuka umum berdasarkan kebiasaan setempat dan syarat-syarat yang berlaku.
b. Pemegang gadai berhak untuk mendapatkan ganti rugi yang berupa biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan benda gadai.
c. Pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan benda gadai (hak retensi) sampai ada pelunasan hutang dari debitur (jumlah utang dan bunga).
d. Pemegang gadai mempunyai hak preferensi (hak untuk didahulukan) dari kreditur-kreditur yang lain.
e. Hak untuk menjual benda gadai dengan perantara hakim, jika debitur menuntut didepan hakim supaya barang gadai dijual menurut cara yang ditentukan oleh hakim untuk melunasi utang dan biaya serta bunga.
f. Atas izin hakim tetap menguasai benda gadai.
Kewajiban pemegang gadai
a. Pasal 1157 ayat 1 KUHPerdata pemegang gadai bertanggung-jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan, jika itu semua terjadi atas kelalaiannya.
b. Pasal 1156 ayat 2 KUHPerdata berkewajiban untuk memberitahukan pemberi gadai jika barang gadai dijual.
c. Pasal 1159 ayat 1 KUHPerdata bertanggung jawab terhadap hasil penjualan barang gadai.
d. Kewajiban untuk mengembalikan benda gadai jika debitur melunasi utangnya.
e. Kewajiban untuk memelihara benda gadai.
Hapusnya gadai
a. Hapusnya perjanjian pokok
b. Karena musnahnya benda gadai.
c. Karena pelaksanaan eksekusi
d. Karena pemegang gadai telah melepaskan hak gadai secara sukarela.
e. Karena pemegang gadai telah kehilangan kekuasaan atas benda gadai
f. Karena penyalahgunaan benda gadai.
2. GADAI DALAM UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA
Gadai menurut UUPA adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya. Dalam undang-undang pokok hukum agraria terdapat ketentuan-ketentuan mengenai gadai diantaranya sebagai berikut:
a. Tanah yang sudah digadai selama 7 tahun harus dikembalikan kepada yang mempunyai tanah tersebut tanpa kewajiban untuk membayar uang tebusan.
b. Mengenai gadai yang belum berlangsung 7 tahun maka pemilik tanahnya berhak meminta kembali suatu waktu setelah tanaman yang ada selesai di panen dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung dengan rumus
(7+1/2)-waktu berlangsungnya hak gadai X uang gadai
7
c. Pembayaran uang gadai bisa dibayar dengan emas.
d. Pemegang gadai yang tidak melaksanakan kewajiban mengembalikan tanah yang dikuasainya dengan hak gadai menurut ketentuan pasal 7 dapat dipidana dengan hukum kurungan selama 3 bulan atau denda sebanyak Rp. 10.000.
e. Gadai dalam ketentuan UUPA mempunyai jangka waktu selama 5 sampai 10 tahun.
f. Hak gadai dalam UUPA bersifat tertulis.
g. Tanah gadai dapat diperjual belikan.
h. Tanah gadai bisa dipindah gadainya kepada orang lain.
4. GADAI DALAM HUKUM ADAT
Di dalam Hukum Adat transaksi atas tanah seperti ini juga sering dilakukan. Adapun transaksi tanah menurut Hukum Adat dapat berupa penyerahan tanah oleh seseorang kepada orang lain untuk mendapatkan sejumlah uang tunai atas penyerahan tanah yang dilakukannya. Penyerahan di sini ada yang bersifat tetap, dan ada pula yang bersifat sementara. Penyerahan tanah yang bersifat tetap pada hakikatnya sama saja dengan jual beli tanah, sedangkan penyerahan yang bersifat sementara pada hakikatnya lebih menyerupai gadai atau sewa tanah. Penyerahan tanah yang bersifat tetep menimbulkan hak milik atas tanah, sedangkan penyerahan tanah yang bersifat sementara hanya menimbulkan hak penguasaan atas tanah.
Di dalam Hukum Adat penyerahan tanah yang bersifat tetap terjadi dengan transaksi jual lepas, sedangkan penyerahan tanah yang bersifat sementara dapat terjadi dengan transaksi jual gadai dan jual tahunan.
Untuk pengesahannya, semua transaksi tanah yang dilakukan oleh masyarakat Hukum Adat harus diketahui atau dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan hukum, sedangkan untuk berlakunya cukup diketahui oleh para pihak yang melakukan transaksi dan kepala persekutuan hukumnya saja.
Berbeda dengan transaksi yang terjadi menurut Hukum Perdata, transaksi atas tanah menurut Hukum Adat tidak perlu dibuktikan dengan akta otentik (akta notaris), akan tetapi cukup diketahui dan disaksikan oleh kepala persekuan hukumnya saja. Dalam hal ini apabila kepala persekutuan hukum menolak untuk menjadi saksi atas transaksi yang telah terjadi, maka transaksi tidak berlaku pihak ketiga.
Dengan adanya kenyataan seperti yang diuraikan di atas membuat penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai transaksi tanah menurut Hukun Adat ini, khususnya di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman. Untuk itu penulis akan melakukan penelitian mengenai hal tersebut dan menuangkan hasilnya dalam suatu karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Transaksi Tanah Menurut Hukum Adat dan Undang-undang Pokok Agraria di Kabupaten Sleman.
Di dalam Hukum Adat penyerahan tanah yang bersifat tetap terjadi dengan transaksi jual lepas, sedangkan penyerahan tanah yang bersifat sementara dapat terjadi dengan transaksi jual gadai dan jual tahunan.
Untuk pengesahannya, semua transaksi tanah yang dilakukan oleh masyarakat Hukum Adat harus diketahui atau dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan hukum, sedangkan untuk berlakunya cukup diketahui oleh para pihak yang melakukan transaksi dan kepala persekutuan hukumnya saja.
Berbeda dengan transaksi yang terjadi menurut Hukum Perdata, transaksi atas tanah menurut Hukum Adat tidak perlu dibuktikan dengan akta otentik (akta notaris), akan tetapi cukup diketahui dan disaksikan oleh kepala persekuan hukumnya saja. Dalam hal ini apabila kepala persekutuan hukum menolak untuk menjadi saksi atas transaksi yang telah terjadi, maka transaksi tidak berlaku terhadap pihak ketiga.
Hukum gadai menurut hukum adat
1. Harus dilakukandi hadapan kepaladesa/kepala adat selaku kepala masyarakat.
2. Tidak tertulis
3. Hak gadai hukum adat merupakan perjanjian pokok yang berdiri sendiri, yang dapat disamakan dengan juallepas (adol plas) atau jual tahunan (adol tahunan).
4. Kalau tidak ditebus dalam masa yang dijanjikan, maka tanah menjadi milik yang membeli gadai.
5. Tanah tidak boleh ditebus selama satu, dua atau beberapa tahun dalam tangan pembeli gadai.
6. Pembeli tidak dapat meminta kembali uangnya kepada penjual gadai.
7. Selama tanahnya tidak ditebus maka tanah tersebut menjadi hak milik pemegang gadai berserta hasil dari tanah tersebut.
8. Hukum gadai dilakukan sesuai dengan adat setempat.
9. Jangka waktu hak gadai tidak ditentukan.
10. Hak gadai dalam bentuk penggarapan tanah.
11. Hak gadai dalam perjanjian pinjam-meminjam uang.

Dengan mengetahui gadai dalam KUHPerdata yang sebenarnya telah dicabut dengan lahirnya UUPA, kita dapat memperbandingkan dengan gadai menurut hukum adat. Dapat kita gamabrkan perbedaannya tersebut dalam tabel berikut ini.
No Perbedaan
Dalam hukum adat Dalam hukum barat (KUHPerdata) atau UUPA No. 5 tahun 1960
1 Objek gadai Sawah atau tanah Benda bergerak
2 Penguasaan Penguasaan disertai hak untuk memanfaatkan Hak menguasai (menyimpan dan merawat)
3 Waktu gadai Berakhir dengan dibayarnya tebusan tanpa adanya kepastian waktu berkahirnya gadai Gadai berakhir sesuai
dengan waktu yang
diperjanjikan dengan
disertai dengan
pembayaran tebusan
4 Para pihak Penggadai pemegang
gadai dan dimungkinkan
adanya pihak ketiga,
contoh: sewa-menyewa
sawah, bagi-hasil
Penggadai dan
pemegang gadai
(lembaga gadai)

5 Resiko Tidak dapat menebus gadai tetap berlangsung
sampai ditebus oleh
penggadai, dapat
diselesaikan dengan juallepas
jika di inginkan
Tidak ditebus, barang
menjadi milik
pegadaian sebagai
pemegang gadai,
pegadaian melakukan
pelelangan



Setelah adanya perjanjian gadai, penggadai akan menyerahkan jaminan
atas gadai tersebut. Perbedaan pertama adalah mengenai apa yang dijadikan
jaminan. Dalam gadai hukum adat yang dijadikan jaminan adalah tanah (sawah)
saja, hukum adat tidak mengenal pelaksanaan gadai yang dilakukan antara
individu dengan individu dengan objek barang bergerak. Sementara dalam
KUHPer yang dijaminkan berupa barang bergerak, barang bergerak disini dapat
dicontohkan seperti perhiasan, barang elektronik, dan lain sebagainya. Barang
bergerak adalah barang yang apabila dipindahkan maka tidak akan mengubah
bentuk dan fungsinya.
Jika ditinjau dari segi penguasaan benda yang menjadi jaminan pun
berbeda. Pemegang gadai adalah pihak yang menguasai benda yang dijadikan
jaminan. Pemegang gadai dalam hukum adat menguasai benda jaminan dan dapat
memanfaatan jaminan gadai (sawah). Sawah dapat dimanfaatkan dengan cara
menanaminya selama pelaksanaan gadai sampai penggadai mampu menebusnya.
Sementara dalam gadai KUHPer, penguasaan atas barang gadai tanpa adanya
pemanfaatan dari benda jaminan tersebut. Pelaksanaan gadai yang disebutkan
dalam KUHPer, pemegang gadai (lembaga gadai-pegadaian) hanya berkuasa dan
berkewajiban untuk menyimpan serta menjaga benda yang dijaminkan tanpa
adanya hak untuk memanfaatkan barang jaminan tersebut.
Waktu pelaksanaan gadai dalam hukum adat pada dasarnya tidak
ditentukan. Penggadai tidak berkewajiban menebus gadai dalam waktu tertentu.
pelaksanaan gadai berakhir ketika ada kemauan dan kemampuan penggadai untuk
menebus gadai, sehingga pelaksanaan gadai dalam hukum adat tidak dapat
dipastikan kapan berakhirnya. Berbeda dengan KUHPer, lamanya waktu gadai
ditentukan pada perjanjian yang disepakati penggadai dan pemegang gadai.
Penggadai berkewajiban menebus gadai sesuai dengan waktu yang diajukan oleh
pemegang gadai sesuai dengan yang diperjanjikan. Dapat disimpulkan bahwa
waktu gadai antara hukum adat dan KUHPer mempunyai ketentuan yang berbeda.
Para pihak dalam gadai adalah penggadai sebagai pihak pertama dan
pemegang gadai sebagai pihak kedua. Dalam pelaksanaan gadai hukum adat,
pemegang gadai dapat melakukan hubungan hukum lain dengan pihak ketiga.
Dengan catatan ketika penggadai menebusnya kembali maka pemegang gadai
harus mengembalikan sawah tersebut. Hubungan antara pemegang gadai dengan
pihak ketiga dapat berupa sewa-menyewa atau bagi hasil. Dalam perjanjian
dengan pihak ketiga, pemegang gadai tidak berkewajiban meminta persetujuan
dengan penggadai, penggadai hanya mempunyai hubungan dengan pemegang
gadai. Sebagai contoh bisa diadakannya perjanjian sewa sawah atau bagi hasil
sawah yang dilakukan pemegang gadai dengan pihak ketiga. Perbuatan hukum
yang dilakukan oleh pemegang gadai dengan pihak ketiga diperbolehkan selama
hanya sebatas berada dalam lingkup penguasaan. Ketika perbuatan hubungan
hukum yang dilakukan dengan pihak ketiga melebihi itu maka tidak
diperbolehkan, seperti perjanjian jual-beli antara pemegang gadai dengan pihak
ketiga. Hal tersebut tidak diperbolehkan karena melebihi penguasaan, perbuatan
jual-beli hanya bisa dilakukan oleh pemilik sawah atau tanah bukan penguasa
sawah atau tanah. Dalam KUHPer, pemegang gadai (pegadaian) tidak berhak
untuk memanfaatkan barang gadai apalagi sampai melakukan hubungan hukum
dengan pihak lain. Pemegang gadai hanya berhak menyimpan dan berkewajiban
menjaga barang yang digadaikan itu.
Perbedaan selanjutnya adalah konsekuensi ketidakmampuan penggadai
dalam menebus barang gadai. Pelaksanaan gadai hukum adat tidak mengatur
lamanya waktu gadai, gadai akan berakhir setelah penggadai menebus barang
gadai. Jika pengadai belum mampu menebus maka hubungan gadai tersebut akan
terus berlangsung. Apabila pemegang gadai membutuhan uang sementara
penggadai belum mampu menebusnya maka sawah gadai tersebut dapat dialihkan
hubungan gadainya, sering disebut dengan mengoper gadai. Pemegang gadai
menggadaikan lagi sawah tentunya dengan sepengetahuan pemilik sawah dalam
hal ini penggadai. Cara lain yang dapat ditempuh jika penggadai tidak mampu
menebus sawahnya adalah dengan jual-lepas. Pemegang gadai ingin mengakhiri
hubungan gadai sementara penggadai tidak mampu menebusnya maka dapat
diakhiri dengan jual-lepas. Penggadai menjual tanah tersebut ke pemegang gadai,
pemegang gadai akan menambah sejumlah uang untuk membeli sawah tersebut
sehingga harganya sesuai dengan harga jual pada waktu itu. Sedangkan dalam
pelaksanaan gadai dalam KUHPer, ketika penggadai tidak mampu membayar
tebusan barang gadai dalam waktu yang telah disepakati maka pegadaian sebagai
pemegang gadai akan melakukan lelang. Barang jaminan yang tidak ditebus pada
waktunya akan dilelang, hasil dari lelang akan digunakan untuk membayar uang
yang dipinjam penggadai dari pemegang gadai.

CONTOH PERKARA MENGENAI GADAI
M.A. tgl. 9-3-1960 No. 45 K/Sip/1960
Jual gadai sawah dengan perjanjian bahwa, apabila lewat waktu tertentu tidak ditebus, sawah itu akan akan menjadi miliknya si pemegang gadai, tidak berarti bahwa, setelah waktu yang ditetapkan itu lewat tanpa dilakukannya penebusan, sawah itu dengan sendirinya menjadi miliknya pemegang gadai. Untuk mendapatkan milik tanah itu masih diperlukan suatu tindakan hukum lain.
Duduk perkara:
Dja Tabuni menggugat Dja Marilen dimuka Pengadilan Negeri Padangsidempuan, untuk diperkenankan menebus sawahnya yang dulu (tahun 1940) digadaikan kepada tergugat, yaitu supaya tergugat dihukum menyerahkan sawah tersebut kepada penggugat dengan menerima kembali uang tebusannya Rp. 300,-
Pengadilan Negeri Padangsidempuan tersebut dengan putusannya tgl. 18 Maret 1958 No. 6/1958 Per.Ps. mengabulkan gugatan tersebut dan putusannya dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan (putusan tgl. 18 Agustus 1958 No.188/1958).
Dalam tingkat kasasi diajukan keberatan-keberatan sebagai berikut:
a. Bahwa menurut perjanjian sawah sengketa dapat ditebus kembali dari penggugat kasasi dalam tempo 1 tahun, akan tetapi dari sebab setelah waktu satu tahun itu lewat tanpa ditebus sawah itu oleh tergugat dalam kasasi, maka sawah sudah menjadi hak milik penggugat kasasi;
b. Bahwa sebetulnya perjanjian antara penggugat kasasi dan tergugat dalam kasasi mengenai sawah sengketa bukanlah perjanjian hutang uang dan sawah sengketa sebagai jaminan, melainkan perjanjian jual-beli lepas sawah tersebut oleh sebab pada masa perjanjian itu dilakukan, tidak diperbolehkan menjual sawah;
c. Bahwa sejak tahun 1938 sampai dengan 1958 tergugat dalam kasasi tinggal diam saja, yang berarti, bahwa ia telah menanggalkan haknya atas sawah sengketa;
d. Bahwa penggugat kasasi mohon supaya uang tebusan ad, Rp. 300,- dinilai dengan harga emas pada waktu perjanjian tersebut diadakan dengan harga emas pada waktu sekarang.
Oleh Mahkamah Agung keberatan-keberatan tersebut ditanggapi sebagai berikut:
Mengenai keberatan sub a.:
Bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, oleh karena penggugat kasasi sudah mengajukan keberatan tersebut sebagai tangkisan di depan Pengadilan Negeri menolak tangkisan itu sekalipun berdasarkan alasan-alasan yang kurang tepat, bukankah Pengadilan Negeri antara lain menyatakan dalam putusannya, bahwa sawah itu dengan lewatnya tempo setahun tersebut tanpa pembayaran kembali uang Rp. 300,- itu belum berarti, bahwa sawah itu akan menjadi milik dari penggugat kasasi, oleh karena belum ada penyerahan langsung dari sawah itu, sedangkan tangkisan itu harus ditolak berdasarkan alasan lain sebagai berikut:
Bahwa sekalipun ada perjanjian tentang pembayaran kembali uang Rp. 300,- itu dalam tempo setahun, akan tetapi hal itu tidak berarti, bahwa penggugat kasasi setelah lewat waktu satu tahun itu secara otomatis memiliki sawah itu, oleh sebagimana yang telah dipertimbangkan dengan tepat oleh Pengadilan Negeri dalam perkara ini sebetulnya yang diperjanjikan ialah dondon (jual-gadai) ;
Bahwa dalam hal jual-gadai, apabila ada perjanjian, bahwa apabila tanah itu tidak ditebus dalam waktu yang tertentu tanah itu akan menjadi milik dari si pemegang gadai, maka perjanjian itu harus mengadakan tindakan hukum lain, yakni meminta kepada Pengadilan supaya berdasarkan perjanjian tersebut ia – pemegang gadai – ditetapkan sebagai pemilik dari sawah tersebut. Dalam hal mana Pengadilan dapat megambil putusan menurut kebijaksanaan, misalnya memberi tempo lagi kepada si pemberi gadai untuk menebus sawah itu dan apabila penebusan itu tidak dilakukan, maka tanah itu baru menjadi miliknya pemegang gadai apabila perlu dengan menambah uang gadai kepada si pemberi gadai.
Mengenai keberatan sub b.:
Bahwa kebertan ini juga tidak dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan Negeri dengan tepat telah memutuskan, bahwa yang diperjanjikan antara para pihak yang berperkara ialah jual-gadai (dondon);
Mengenai keberatan sub c.;
Bahwa keberatan ini pula tidak dapat dibenarkan, oleh karena jual-gadai sewaktu-waktu dapat ditebus”.
Keberatan sub d. Diterima oleh Mahkamah Agung, harga penebusan dinilai atas dasar perbandingan harga beras pada waktu sawah digadaikan dan harga beras pada waktu sawah ditebus, namun dengan ketentuan bahwa resiko dari perbedaan harga itu dipikul oleh kedua belah pihak masing-masing separo, sehingga Mahkamah Agung sampai pada pada jumlah Rp. 15.000,- sebagai uang tebusan.
Dengan demikian, maka permohonan kasasi dikabulkan untuk sebagian dan putusan Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi, diperbaiki sekedar mengenai jumlah uang tebusan yang dari Rp. 300,- dijadikan Rp. 15.000,-
Salah satu ciri dari gadai tanah menurut hukum adat adalah bahwa apabila dijanjikan bahwa jika tanah tidak ditebus dalam suatu waktu tertentu ia akan menjadi miliknya si pemegang gadai, maka jika waktu tersebut lewat tanpa dilakukannya penebusan, sawah tidak secara otomatis menjadi miliknya pemegang gadai, tetapi diperlukan suatu transaksi lebih lanjut atau suatu tindakan hukum lain seperti yang diuraikan dalam pertimbangan putusan M.A tersebut dalam menanggapi keberatan sub a.
Ketentuan tersebut ada miripnya dengan ketentuan-ketentuan dalam B.W. yang melarang mengadakan janji kepemilikan dalam gadai dan hipotik terhadap barang yang dijadikan jaminan, apabila siberutang tidak mampu membayar hutangnya ( pasal 1154 (1) dan 1178 (1) B.W.).
Suatu ciri lain dari gadai tanah menurut hukum adat ialah tidak adanya lampau waktu (verjaring) dalam penebusan.

Tidak ada komentar: